TEMPO.CO, Jakarta - Indahnya gugusan bintang di langit, dan kalau beruntung bahkan bisa melihat galaksi Bimasakti, sudah sulit disaksikan di kota-kota besar yang bermandikan cahaya. Polusi cahaya itu telah membuat kita sukar menyaksikan fenomena langit yang luar biasa di malam hari.
Para ilmuwan kini menemukan fakta baru mengenai akibat polusi cahaya. Selain kehilangan kesempatan melihat benda-benda angkasa, terus-menerus bermandikan cahaya buatan akan mempengaruhi kesehatan manusia. Demikian hasil penelitian yang dimuat di jurnal Current Biology.
Para peneliti di Belanda menyatakan tak adanya cahaya alam dan ritme kegelapan bisa mengakibatkan berbagai macam masalah kesehatan, termasuk berkurangnya massa tulang. Para ilmuwan itu menggunakan tikus sebagai obyek penelitian. Hewan pengerat itu terus dimandikan cahaya buatan selama enam bulan.
Hasilnya, tikus tersebut memang masih mampu membuat sarang dan bergerak bebas dalam gelap tapi tak mampu secara total menghindari cahaya ketika tidur. Beberapa sel tubuh pun berdenyut tak beraturan. Tikus-tikus itu mengadopsi kehidupan 25,5 jam sehari, kehilangan massa tulang dan kekuatan otot, serta menjadi lemah.
Para peneliti pun memberikan tikus-tikus itu masa kegelapan lagi dan sistem dalam tubuh mereka kembali normal. Hanya saja, penelitian ini belum bisa dibuktikan pada manusia. Namun, menurut seorang peneliti, Johanna Meijer, apa yang dialami tikus percobaan tersebut bisa menjadi peringatan buat manusia, seperti para pekerja malam, yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan cahaya buatan.
FOXNEWS | PIPIT
Artikel lain:
Takut Pakai Sepatu Jinjit, Coba Dulu Tip Berikut
Yang Terjadi di Dalam Tubuh Sebelum dan Saat Kita Tertawa
Rutin Minum Cuka Apel dan Rasakan Manfaatnya buat Kesehatan