TEMPO.CO, Jakarta - "Prang...!" Bunyi suara benda dibanting memecah kesunyian sebuah rumah. Dalam hitungan detik terdengar teriakan melengking yang disambut lengkingan lain yang tak kalah keras. Suasana benar-benar gaduh.
Sang ibu yang tampaknya sudah cukup letih dengan pekerjaan rumah tangga, mulai gusar. "Kakak, kamu ngalah dong, adik kan masih kecil. Kenapa sih kamu enggak sayang sama adik!" kata si ibu.
Kejadian ini tampaknya lumrah ditemui di setiap keluarga. Sang kakak selalu dituntut untuk mengalah, sementara si adik sebagai anak paling kecil di rumah terkesan dilindungi. Bahkan ibu tak segan membandingkan dengan anak lain. Bijakkah cara ini? Nanti dulu! Dengar petunjuk para ahli.
Menurut psikolog Dra Clara Istiwidarum Kriswanto, MA, CPBC, orang tua sebaiknya tidak buru-buru memberi label atau membandingkan dengan anak lain. "Apalagi dengan saudaranya sendiri. Ini bisa menimbulkan persaingan antarsaudara atau sibling rivalry," kata Clara. Walhasil, bukan penyelesaian yang didapat. Reaksi orang tua saat melihat anak-anaknya berkelahi justru bisa memicu pertengkaran selanjutnya.
Perang mulut antarsaudara sejatinya merupakan hal yang wajar dan tak bisa dihindari. Kasus semacam ini sudah terjadi sejak manusia turun ke bumi. Ingat kisah perseteruan Qabil dan Habil, putra Nabi Adam, yang berakhir dengan tragedi.
Bedanya, kini para ahli perkembangan anak sudah banyak meneliti bagaimana agar kondisi ini bisa produktif. Utamanya, bagaimana orang tua menyikapi bila hal itu terjadi.
Ada banyak alasan mengapa anak-anak berkelahi. Bisa jadi mereka sesungguhnya merasa lelah, lapar, atau bosan. Yang mungkin Anda lakukan dalam kondisi ini adalah segera memisahkan mereka sampai Anda selesai memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Cara yang lain, ajak keduanya duduk di tempat yang tak terlalu nyaman atau suruh tinggal di ruangan yang berbeda. Tegaskan, mereka tak boleh bangun atau meninggalkan ruangan kecuali mendapatkan izin dari saudara mereka.
Katakan juga Anda tidak akan terlibat atau mendengar apa pun yang mereka katakan sebelum perseteruan mereda. Dengan demikian, mau tak mau mereka harus berdamai dan bernegosiasi kalau ingin cepat hengkang.
Namun, jangan lupa, selama melakukan hal tersebut, beri mereka makanan dan kesempatan bila mereka ingin istirahat. Atau alihkan perhatian mereka dengan sesuatu yang menyenangkan dan menggoda.
Lain lagi halnya jika perkelahian terjadi karena anak-anak ingin menarik perhatian Anda. Yang perlu Anda lakukan adalah bukan buru-buru memisahkan mereka, tapi perhatikan mereka selama 30 detik untuk mengetahui apa yang sesungguhnya mereka pertengkarkan. Ambil waktu 30 detik lagi untuk memutuskan apa yang sebaiknya Anda lakukan.
Bila mereka bertengkar karena persoalan sepele, tak usah dipedulikan. Apalagi langsung bertindak sekadar melindungi atau bernegosiasi. Jangan sampai anak-anak beranggapan mereka berhasil menarik perhatian dengan perkelahian. Kalau hal itu terjadi, suatu saat mereka akan melakukannya lagi untuk tujuan yang sama.
Langkah yang bisa Anda lakukan dalam situasi seperti ini adalah pergi ke ruangan lain. Tidak usah menoleh atau bicara kepada mereka. Katakan, selama belum berdamai, Anda tak akan memperhatikan mereka. Tapi, sebaliknya, puji mereka bila tercapai perdamaian.
Sadar atau tidak, orang tua terkadang mendukung kekerasan dalam rumah tangga. Runyamnya lagi, sikap buruk ini dicontoh oleh anak. Misalnya menganggap wajar memukul anak yang sedang nakal atau menyebut anak dengan julukan si badung, si nakal, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini bisa jadi permakluman bagi anak atas tindakan agresif yang dilakukannya.
Dari sebuah buku klasik berjudul Sibling Rivalry, penulisnya--Adele Faber dan Elaine Mazlish--menyebut beberapa saran yang baik untuk melindungi anak pelaku penyerangan atau korbannya.
Jika salah satu anak melukai anak lainnya, jangan berikan perhatian pada si anak penyerang. Lebih baik amati anak yang terluka. Ini bisa menjadi tanda bagi si anak penyerang bahwa tindakannya sama sekali tidak Anda setujui.
Yang tak kalah penting, hindari memberi label pada si anak penyerang. Berikan bimbingan agar dia menyadari bahwa sesungguhnya ia juga tahu bagaimana seharusnya bersikap kepada saudaranya.
Selanjutnya, ajari anak yang terluka agar punya kemampuan membela diri sekaligus mengenali kekuatan yang dimiliki. Langkah ini untuk mencegah agar anak yang terluka tidak terus-menerus jadi bulan-bulanan saudaranya atau justru menjadikan lukanya sebagai alasan untuk menarik perhatian Anda.
Tapi, jika perkelahian anak-anak masih dalam batas kewajaran, Anda tak perlu tegang menghadapinya. Para ahli cuma punya satu saran: bersikaplah adil dan tak perlu memihak. Selebihnya? Percayalah pada ungkapan, "Peristiwa ini kenangan lucu ketika mereka beranjak dewasa. Namanya juga anak-anak."
KORAN TEMPO
Berita lainnya:
Jangan Sepelekan Pentingnya Bermain Bersama Anak
Bekali Anak dengan Empati, Tinggalkan Gadget
Kiat Mempererat Ikatan Ibu dan Anak