TEMPO.CO, Jakarta - Ngilu yang tak kunjung sembuh sering bikin frustrasi. Padahal, obat penghilang sakit sudah lama habis. Untuk itu, sekelompok dokter pakar bius mengembangkan metode penanganan baru untuk menangani keluhan tersebut.
“Bernama interventional pain management, IPM, atau manajemen nyeri dengan intervensi,” kata Nancy M. Rehatta, Ketua Kolegium Anestesiologi dan Terapi Intensif (KATI), kepada Tempo di Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya, Ahad 31 Juli 2016.
Nyeri adalah sinyal adanya sesuatu yang salah dalam tubuh. Sakit ini adalah keluhan tersering yang mendorong seseorang berobat. Penyebabnya mulai dari trauma karena kecelakaan, penyakit seperti kanker, hingga kebiasaan negatif, semisal menggunakan sepatu berhak tinggi yang berujung radang sendi.
Berdasarkan klasifikasinya, nyeri tergolong kronik apabila berlangsung melebihi rentang waktu suatu nyeri akut. Nyeri akut normalnya mencapai kesembuhan antara satu, tiga, hingga enam bulan. “Lebih dari itu, tergolong kronik,” kata Nancy.
Dia mengatakan beberapa nyeri kronik yang banyak dialami orang Indonesia adalah nyeri punggung belakang, lutut, leher, dan bahu. Sakit itu disebabkan pola hidup yang kurang gerak tubuh, sementara beban kerja berlebihan.
Selama ini, penanganannya lewat obat. Tapi, pada kasus berat, penyuntikan morfin pun kerap gagal. Di sisi lain, pasien juga kebanyakan ogah dioperasi. Jadi, kalau nyeri, pasien menenggak obat. Saat sakitnya timbul lagi, ya minum obat lagi. “Begitu terus-menerus,” ujar Nancy, Guru Besar Ilmu Anestesiologi Universitas Airlangga, Surabaya.
Padahal, konsumsi remedi dalam jangka panjang memberikan efek bahaya, misalnya perdarahan lambung, gangguan ginjal, dan osteoporosis. “Nah, teknik intervensi ini digunakan supaya pasien terhindar dari risiko-risiko tersebut,” ujar dia.
Tindakannya berupa merekayasa saraf yang menyampaikan rasa sakit ke otak. Dengan menggunakan alat ultrasound maupun radio frequency, pasien diberi suntikan steroid atau anestesi lokal untuk memblok saraf sementara waktu. “Nanti jika terasa nyeri lagi, pasien bisa diberi lagi bergantung kondisinya,” kata Ketut Ngurah Gunapriya, dokter spesialis anestesi dari Universitas Brawijaya.
Adapun untuk efek permanen, dokter memberikan suntikan zat neurolitik alias langsung merusak saraf yang menjadi sumber nyeri. Bisa juga dengan ablasi atau membakar saraf tersebut dengan radio frequency. “Sehingga tidak ada lagi hantaran rasa nyeri,” ujar Ketut.
Untuk mencegah efek samping, dia menambahkan, dokter kudu memastikan cairan obat tidak masuk ke pembuluh darah. “Pasien harus diberikan injeksi kontras sebelum obat-obatan yang lain,” kata lulusan penanganan teknik nyeri di Budapest itu.
Guru Besar Anestesi Universitas Hasanuddin, Makassar, Andi Husni Tanra, mengakui teknik intervensi tak bisa menghilangkan nyeri sepenuhnya. Namun, angka keberhasilannya mengurangi sakit lebih dari 50 persen. “Yang penting memperbaiki kualitas hidup pasien, bisa kembali beraktivitas dan bekerja,” kata dia.
Profesor Husni mengatakan metode ini tergolong gres di Indonesia, juga di Asia Tenggara. Selama ini, pasien harus ke luar negeri untuk mendapat intervensi nyeri. Biayanya, dia menambahkan, sekitar Rp 97 juta di Singapura dan Rp 20 juta di Eropa. “Di sini bisa lebih murah,” kata dia. Perlu diingat, terapi ini sebatas menghilangkan rasa sakit, bukan penyakitnya. Jadi, meski ngilu sirna, sumber masalah tetap perlu diatasi.
NUR ALFIYAH | ARTIKA RACHMI FARMITA (SURABAYA)
Berita lainnya:
Ladies, Jangan Takut Keluar dari Zona Nyaman
Semakin Tua, Bentuk Wajah Semakin Kotak, Benarkah?
Berusaha Merampingkan Perut tapi Tetap Buncit, Ini Salahnya