TEMPO.CO, Jakarta - Peter Vanesh Hauw, 14 tahun, menyusun gelas berwarna putih di hadapannya dalam pola 3-3-3. Siswa SMP Bina Tunas Bangsa School Jakarta ini kemudian menggosokkan kedua tangannya sebelum melakukan aksi.
Tak-tok-tak-tok-tak.... Sembilan gelas plastik pun ia pindah-susun dalam hitungan detik, bahkan kurang dari tiga detik. Aksinya cukup memukau dan menarik perhatian beberapa orang yang ada di sebuah kedai kopi di kawasan Pantai Indah Kapuk.
Dengan santai, Vanesh kembali membenarkan susunan gelasnya. Ia mengulang aksinya lagi, kali ini dengan 12 gelas. Tak lama kemudian, tiga tumpukan gelas disusun dalam pola 3-6-3. “Nama olahraga ini sport stacking, nama alatnya speed stacks,” kata Vanesh saat membuka pembicaraan dengan Tempo, Kamis, 28 Juli 2016.
Secara sederhana, sport stacking (diterjemahkan: olahraga menumpuk) ialah olahraga menyusun gelas menjadi tumpukan piramida dalam jumlah tertentu. Acuan olahraga ini kecepatan: seberapa cepat seseorang bisa menyusun, membongkar, lalu mengembalikan susunan gelas ke tumpukan asalnya.
Vanesh mengenal olahraga ini 3 tahun lalu, saat ia masih duduk di kelas VI sekolah dasar. Saat itu, ada beberapa pihak yang melakukan demo sport stacking di sekolahnya. Rupanya olahraga ini menarik perhatiannya hingga kini. Ia pun sudah mengikuti beberapa kejuaraan sport stacking. Terakhir yang dia ikuti adalah kejuaraan di WSSA Singapore Open Short Stacking Championships Juni 2016. Ia berhasil mencetak skor dengan kecepatan 1.909 detik untuk 3-3-3 dan 2.310 detik untuk 3-6-3.
Lain cerita dengan Christine Salim, 15 tahun. Ia mengenal olahraga ini 4 tahun yang lalu melalui YouTube dan belajar secara otodidaktik. Perempuan berambut panjang ini ketagihan memainkan tumpukan gelas dengan lubang kecil di permukaannya. Proses menyusun gelas, menurut dia, menyenangkan. Ia bisa melatih kecepatan tangan dan befokus dalam melakukan tindakan.
Christine merasakan dampak dari sport stacking untuk kegiatan basket yang juga ia senangi. Christine bisa lebih lincah mendribel bola dan mengiringnya menuju ring. Dukungan orang tua pun hadir kala ia menunjukkan prestasi saat memenangi medali di kejuaraan yang sama dengan yang diikuti Vanesh di Singapura. “Orang tua lebih mendukung setelah tahu seperti apa kegiatannya dan ternyata memang punya banyak manfaat buatku,” tutur Christine.
Sejak akhir tahun lalu, Vanesh dan Christine bergabung dengan komunitas sport stacking yang dibentuk Emiliana, penggagas World Sport Stacking Association (WSSA) Indonesia. Sebagai orang tua, Emiliana, 36 tahun, menyadari banyak manfaat dari olahraga ini. Awalnya, ia mengetahui sport stacking saat anaknya meminta dibelikan gelas-gelas untuk dimainkan. “Saya saat itu bingung. Minta gelas apa, sih? Akhirnya saya Googling,” tutur ibu dua anak ini.
Dari situ Emiliana mulai tertarik menjual perangkat sport stacking yang didatangkan langsung dari Amerika. Bermula dari berjualan alat, akhirnya ia tertarik mendirikan komunitas dan mendapatkan lisensi resmi di Tanah Air.
Usaha Emiliana membuahkan hasil. WSSA Indonesia resmi dibentuk pada November 2015. Hingga saat ini, ada sekitar 70 anak yang bergabung sebagai anggota komunitas yang ia bentuk itu. Ia tak membuat aturan-aturan khusus. “Yang penting ikut saja di kegiatan-kegiatan kami,” tuturnya. WSSA Indonesia biasanya melakukan pertemuan setiap akhir pekan di Pluit Village.
Alasan Emiliana mengupayakan lisensi tersebut adalah agar olahraga ini bisa memasyarakat, bahkan masuk ke kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah. Menurut dia, di luar negeri, olahraga ini sudah tak asing. Banyak sekolah melihat manfaat yang bisa didapatkan anak didiknya saat mempelajari sport stacking. “Nah, saya ingin di Indonesia juga begitu. Sekarang sudah ada dua sekolah di Jakarta yang punya ekskul sport stacking,” ujarnya. Apalagi, menurut Emiliana, olahraga ini rupanya cocok dan aman bagi anak berkebutuhan khusus.
Untuk memainkan sport stacking, hanya dibutuhkan tumpukan gelas khusus, atau bisa juga memakai gelas plastik biasa. Bedanya, gelas khusus sport stacking punya bentuk berbeda, yang membuat gelas mudah dipisahkan saat dimainkan. Gelas itu punya permukaan yang bolong di tengahnya. Gelas-gelas ini pun dijual dalam beberapa variasi harga, yakni Rp 300-500 ribu. Ada pula yang dijual dalam bentuk paket lengkap dengan timer (pengatur waktu) yang dipatok sekitar Rp 1 juta.
AISHA SHAIDRA
Berita lainnya:
2 Metode Komunikasi Terbaik dengan Anak
7 Kebiasaan yang Membuat Mental Makin Terpuruk
Ibu, Hindari Cara Memasak yang Berbahaya buat Kesehatan