TEMPO.CO, Jakarta - Empat sekawan yang berlatar belakang desainer dan editor fashion, yakni Friederich Herman, Peggy Hartanto, Toton, serta Jo Elaine, sepakat mengembangkan butik multimerek premium yang kemudian dinamai ARA. “Sebagai orang yang netral, saya ditunjuk untuk mengelola butik ini,” kata Elaine mewakili tiga temannya.
Adapun untuk pembagian kerja, Elaine bertanggung jawab memastikan semua berjalan lancar, dari data desainer, styles yang akan diberikan oleh desainer yang bergabung dengan ARA, daftar harga produk, hingga pengelolaan butik. Peggy Hartanto lebih banyak ke bagian keuangan, lalu Toton memegang merchandising. Rapat bisnis dilakukan seminggu sekali melalui Skype karena mereka tinggal di kota yang berbeda.
Bertempat di Gedung Colony, Kemang, butik ARA resmi dibuka pada November 2015 dan menjadi wadah bagi sekitar 14 label perancang ternama Indonesia, yakni Patrick Owen, Populo Batik, Kraton Auguste Soesastro, Toton, FBudi, Friederich Herman, Olenka, Sapto Djojokartiko, Laison by Aurelia Santoso, Peggy Hartanto, Clarissa Kwok, Litany, Rosalyn Citta, dan Elantier.
Lantas, apa yang membedakan butik ARA dengan butik lainnya? “Diferensiasinya, kebanyakan karya desainer di sini tidak dapat ditemui di tempat lain. Kami membuat konsep galeri yang tidak hanya sekadar menjual baju, tapi juga mengkolaborasikan antara fashion dan art,” ujarnya.
Merek fashion yang akan dijajakan di butik ini diseleksi dengan ketat. Saat ini setiap desainer yang bergabung di butik ARA harus punya stok 10 style dalam satu rotasi dan dua new style setiap dua bulan. Selain memenuhi stok style, para desainer ini diminta membuat produk eksklusif yang khusus hanya ada di ARA.
Menurut Elaine, tahun ini ia menargetkan meningkatkan penjualan. Ke depan, ARA akan menerima produk fashion impor yang berkualitas
Berita lainnya:
Supaya Tas Mahal Tetap Terawat
Hormati Rekan Kerja Anda, Begini Caranya
Tip Tetap Cantik Saat Naik Sepeda Motor