TEMPO.CO, Jakarta - Arya Permana, bocah 10 tahun asal Karawang, Jawa Barat, tiba-tiba mencuri perhatian. Bukan karena prestasinya, melainkan lantaran bobot tubuhnya yang superbesar, 190 kilogram. Padahal, dengan tinggi 147 sentimeter, bobot idealnya kurang dari 50 kilogram. Dengan bobot seberat itu, Arya seperti menanggung beban empat anak sekaligus.
Dokter yang menangani Arya mengatakan si anak tak mengalami gangguan komplikasi organ vital, seperti jantung, paru-paru, atau ginjal. Namun, menurut dokter pemerhati gaya hidup Grace Judio-Kahl, kegemukan yang terjadi pada Arya bisa berbahaya.
Lemak, kata dia, sebenarnya memiliki banyak manfaat, seperti menghangatkan badan dan membantu membuat hormon tertentu dalam tubuh. Pada perempuan, lemak juga berperan dalam siklus haid dan kehamilan. "Orang yang tidak punya lemak tak bisa menstruasi dengan baik," katanya di Jakarta, pekan lalu.
Namun tumpukan lemak berlebih akan memproduksi banyak hormon dan protein yang membuat tekanan darah tinggi, resistan terhadap insulin, dan kadar kolesterol tak terkendali dengan baik. Dari sinilah awal munculnya penyakit diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol, yang akhirnya bisa berujung pada penyakit jantung, stroke, dan masalah pembuluh darah. Komplikasi penyakit-penyakit ini diketahui menyumbang angka kematian cukup tinggi bagi para penderita dewasa.
Lemak yang berlebihan itu juga akan membuat tulang Arya kelebihan beban. Ke depan, Grace memprediksi kaki Arya bakal melengkung seperti huruf O karena, pada masa pertumbuhannya, tulang Arya menanggung beban yang sangat berat. Tulang punggungnya juga akan melengkung, tak seperti pada anak normal lainnya.
Lalu, bagaimana agar obesitas seperti yang dialami Arya tak dialami anak lain? Menurut Grace, orang tua mesti memonitor apa kebutuhan anak dan apa yang dimakan olehnya. Asupan gizi dan kebutuhannya harus seimbang.
Kebutuhan gizi anak bergantung pada umur, aktivitas, tinggi badan, dan berat badannya. Namun rata-rata pada usia 79 tahun, energi yang dibutuhkan adalah 1.850 kalori. Pada usia 10-12 tahun, kebutuhannya naik. Rata-rata anak laki-laki membutuhkan 2.100 kalori dan perempuan 2.000 kalori. Sebanyak 85 persen energi itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan basal tubuh, seperti bernapas dan jantung berdetak, sedangkan 15 persen sisanya untuk beraktivitas.
Masalahnya, kadang orang tua terlalu sibuk sehingga tak bisa menghitung kebutuhan porsi gizi anaknya agar seimbang antara karbohidrat, protein, lemak, serat, dan vitamin. Anaknya sendiri sering moody, misalnya hari ini mau menyantap telur, tapi besok ogah-ogahan. Namun ada cara simpel untuk memenuhi kebutuhan gizi itu secara seimbang, yakni dengan memperhatikan isi piring anak.
Isi piringnya harus dibagi menjadi tiga. Sepertiga untuk karbohidrat, sepertiga untuk protein, dan sepertiga sisanya untuk sayur dan buah. "Kalau nasinya sudah sepertiga, lauknya jangan ditambah bihun atau kentang yang juga karbohidrat."
Makanan yang masuk itu harus dikeluarkan kembali dalam bentuk aktivitas, misalnya olahraga. Selain bermanfaat agar energi yang masuk tak menjadi timbunan lemak di badan, gerakan dan kegiatan olahraga bisa menjadi wadah bagi anak belajar. "Olahraga adalah guru terbaik bagi anak," ujar psikolog Rosalina Verauli.
Olahraga ditambah istirahat yang cukup, kata dia, akan membuat anak menjadi lebih berkonsentrasi dan meningkatkan rasa percaya dirinya. Dengan demikian, performa akademisnya menjadi lebih baik, gampang bergaul, dan memiliki kompetensi fisik. Anak yang jarang bergerak akan memiliki banyak keluhan kesehatan, susah konsentrasi, dan membuat perilakunya agresif di kelas. "Maka salah konsep kalau anak sepulang sekolah masih diberi aktivitas belajar tambahan," tuturnya. "Belajar hanya saat di sekolah, sisanya biarkan anak bergerak."
NUR ALFIYAH
Baca juga :
Supaya Si Kecil Nyaman Naik Angkutan Umum
Melindungi Anak dari Ancaman di Balik Pokemon Go
Ini Dia Gelang Pemantau Nutrisi dan Kalori Anak