TEMPO.CO, Jakarta - Perjanjian pranikah seolah tengah menjadi tren di kalangan masyarakat kita. Tak sedikit publik yang bertanya-tanya, untuk apa sih menikah tapi melakukan perjanjian pranikah?
Psikolog yang praktek di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI, Depok, Anna Surti Ariani, memberikan pandangannya. Menurut dia, salah satu alasan semakin banyak pasangan melakukan perjanjian sebelum menikah adalah wawasan yang semakin luas. “Dulu, kita tidak paham bahwa untuk menikah perlu ada beberapa hal yang disepakati,” kata Nina, sapaan akrabnya.
Tidak dalam arti negatif. Dengan adanya perjanjian, pasangan justru menyelamatkan pernikahan, bahkan sebelum dimulai. “Sebab, pada dasarnya, perjanjian pranikah kan bukan 'kalau cerai nanti bagaimana?'—walau bisa juga isinya itu, melainkan bagaimana pasangan menjalani pernikahan. Jadi, kalau isi perjanjiannya tepat, malah bisa menguatkan pernikahan itu sendiri,” ujar Nina.
Karena itu, ketika menghadapi pasangan yang mengajukan perjanjian pranikah, tidak perlu dibarengi rasa tersinggung. “Yang namanya perjanjian, justru mengamankan kedua pihak,” tutur Nina. “Kalaupun disepakati hal-hal yang kurang menyenangkan, seperti pemisahan harta, kadang maksud di baliknya baik. Misal, suami bangkrut, istri tidak perlu ikut menanggung karena ada pemisahan harta itu.”
Dari segi hukum, perjanjian pranikah pun resmi. Undang-undang negara kita sudah mengakomodasinya. “Diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Begitu pun KUH perdata sudah mengaturnya sejak zaman Belanda. Hanya, belum menjadi kebiasaan bagi kebanyakan orang untuk membuatnya,” tutur Ade Novita, pengacara yang banyak mengurus perjanjian pranikah sekaligus pendiri situs Pranikah.
Dari segi isi, tidak ada batasan apa pun yang bisa dituang dalam bentuk perjanjian. Tidak melulu mengenai pemisahan harta. “Selama ini kebanyakan orang berpikir seperti itu. Padahal ada klien saya yang membuat perjanjian pranikah yang isinya mengatur kebebasan tetap sekolah dan menjalankan hobi,” ucap Ade. “Sebab, perjanjian itu pada dasarnya kebebasan berkontrak di antara pihak yang membuatnya. Isinya berupa janji dan kesepakatan. Jatuhnya hukum perdata, bukan pidana. Dengan demikian, tidak ada hukuman jika salah satu pihak melanggar.”
Andai perjanjian tidak berjalan, ada pasal tentang musyawarah untuk mufakat. “Perubahan masih bisa dilakukan bila ada yang tidak sesuai,” kata Ade.
Nina pun menambahkan, tidak berjalannya perjanjian juga bukan berarti hubungan berakhir. “Kesannya semua pasangan yang membuat perjanjian pranikah berarti siap cerai, ya. Tidak begitu,” ujar Nina. “Ada juga yang justru lebih baik karena masing-masing ingat komitmen mereka dalam perjanjian itu dan berusaha melaksanakannya.”
Berita lainnya:
Perpaduan Steak dan Wine di Meja Makan
Awet Cantik dengan Minyak Zaitun
Supaya Si Kecil Nyaman Naik Angkutan Umum