TEMPO.CO, Jakarta - Jalan Rawa Belong, Jakarta Barat, telah lengang, Rabu, 13 Juli 2016, malam lalu. Namun, keramaian tercipta di muka gerai Indomaret. Belasan remaja tanggung berkumpul dalam sekian kelompok yang terdiri 2-3 orang. Tatapan mereka melekat ke layar telepon genggam. "Yes, gue dapet Dodrio. Levelnya tinggi pula," pekik satu diantara mereka. Tos pun melayang. Sementara, di sudut lain ada yang misuh-misuh karena incarannya lolos dari layar hape.
Sumber kegaduhan itu adalah Pokemon Go. Meski secara resmi baru tersedia di Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru--belum nongol di Play Store dan App Store di negara lain, game ini telah menyihir dunia. Sepekan pasca rilis, penggunanya menembus angka 15 juta. Itu belum termasuk jutaan pemain lain yang mengunduhnya di luar jalur Android dan Apple, seperti di Indonesia.
Perusahaan game Jepang, Nintendo, meluncurkan versi awal Pokemon pada 1996. Di dunianya, lakon, yang disebut "trainer", berkeliling dunia untuk menangkap pocket monsters atawa Pokemon. Bentuknya bisa burung, tikus, sampai bunga. Muncullah slogan "catch 'em all". Monster cilik itu kemudian dilatih dan diadu. Pikachu yang imut jadi maskot waralaba ini.
Pokemon Go memukau dunia karena gameplay yang unik. Memanfaatkan sistem global positioning system dan augmented reality, pemain dituntut keluar rumah untuk mengumpulkan monster kantong. Begitu ketemu, pokemon akan nongol di layar gadget.
Secara umum, game ini berdampak positif karena mewajibkan pemainnya bergerak betulan. Pengembang Niantic juga menempatkan PokeStop, lokasi pengisian amunisi, di tempat-tempat umum, seperti taman, masjid, dan museum.
Namun, sebagian orang tua mengkuatirkan keselamatan anaknya terkait Pokemon Go--yang menyantumkan saran pengguna 9 tahun ke atas. Wajar saja, pemain akan berkeliaran dengan pandangan ke gawai, bukan jalan. Di Missouri, Amerika Serikat, polisi menangkap empat begal bersenjata api yang memanfaatkan lure--pemancing monster ke PokeStop, seperti yang membentuk keramaian di Rawa Belong, malam itu--untuk memancing korban. Sementara di Indiana, polisi menangkap seorang terpidana predator seksual yang dalam masa percobaan bermain Pokemon Go bersama anak lelaki 16 tahun.
Untuk meminimalisir ekses negatif tersebut, mau tidak mau, orang tua harus memahami cara main game ini. "Mereka wajib menjelaskan resikonya pada anak," kata David Matas dari Beyond Borders, organisasi yang memerangi eksploitasi anak. Sementara Signy Arnason, direktur Cybertip.ca, lembaga anti eksploitasi anak Kanada, meminta orang tua mendampingi anak kecilnya mencari Pokemon. Kalau tidak bisa, anak harus bersama seorang teman. Lebih ramai lebih bagus.
Psikolog Liza Marielly Djaprie mengatakan pendampingan orang tua perlu dilakukan sampai dua pekan sejak game di install. “Lalu lihat perkembangan dan pengaruhnya terhadap anak,” ujar Liza kepada Tempo, Kamis, 14 Juli 2016. Selanjutnya anak bisa ditanya soal penilaian dia terhadap permainan tersebut, apa baik dan buruknya.
Meski Pokemon Go menuntut anak beraktivitas di luar rumah, psikolog dari Klinik Kesehatan Jiwa Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta ini meminta orang tua untuk membatasi waktu bermain anak. “Percuma main keliling ke luar rumah, tapi mata hanya fokus pada gadget. Tidak ada interaksi dengan orang tua, saudara, dan di sekitarnya,” kata Liza, ibu empat anak. Maka, tips paling penting dalam bermain Pokemon Go muncul saban kita membuka aplikasinya: Remember to be alert at all times. Be aware of your surroundings.
REZA MAULANA | AISHA SHAIDRA | CNET | TODAY | GLOBAL NEWS