TEMPO.CO, Jakarta - Setahun belakangan, studio tato No Big Deal di Jalan Bangka Raya, Kemang, Jakarta Selatan kerap disambangi perempuan berusia dua puluhan tahun. Menurut si pemilik studio, Gede Sonny, dalam sebulan ada sekitar sepuluh perempuan yang mendaftar sebagai pasiennya. Dari sepuluh perempuan, delapan di antaranya tak ragu memasang tato di area tubuh yang mudah terlihat, seperti tangan atau di atas mata kaki.
"Kalau dulu memang biasanya di punggung atau pinggul karena malu kalau kelihatan, tapi sekarang justru di daerah yang bisa dilihat dan sudah lumrah," kata tattoo artist yang memulai kiprahnya sejak 2003 ini. Seni rajah yang saat ini dianggap berkelas dan artistik membuat perempuan tak ragu untuk memamerkannya. Ongkos yang mahal dan rasa sakit campur panas saat jarum menembus kulit tak jadi penghalang perempuan menghiasi kulitnya secara permanen dengan tinta yang awet seumur hidup di bawah lapisan bawah kulit.
Rasa puas dari tato didapatkan Dinda Putri Hutami, 26 tahun, yang sudah membuat tiga tato di belakang telinga, punggung dan kaki. Awalnya ia membuat tato di punggung. "Tapi saya merasa tidak puas kalau tato dinikmati sendiri akhirnya berani saja buat tato di tempat yang orang bisa lihat," kata dia. Ia lantas membuat tato berdesain nama-bunga-akar-rosario. "Terkesan religi karena ada rosarionya."
Kepuasannya bertambah saat beberapa orang memuji tatonya, "keren". Tak lama lagi, ia akan menambah koleksi tatonya di tangan. "Hanya saja saat ini sedang mikirin waktunya, juga mempersiapkan desain karena ini kan di tangan yang pasti akan terlihat kecuali saya pakai lengan panjang," kata dia. Termasuk, ia sedang memantapkan hati karena dapat saja menganggu pekerjaannya yang kerap berinteraksi tatap mata dengan orang lain. "Kalau sudah pasang tato harus betul-betul siap dengan resikonya," kata staf akuntansi di perusahaan swasta di Kawasan Niaga Terpadu Sudirman, Jakarta Pusat ini.
Pengalaman terancam kehilangan pekerjaan juga dialami oleh Agustina Olivianty, 27 tahun. Oliv, sapaannya, pernah dipanggil oleh atasannya yang kaget melihat tato kupu-kupu bertanggar di kakinya. Demi menyelamatkan karir, ia rela memakai celana panjang ketika sedang menemani sang bos menemui klien. Perasaan dag dig dug juga ia rasakan saat bertandang ke rumah orangtua kekasihnya setelah tato terpasang. "Saya kan suka pakai rok, malam itu datang pakai celana panjang trus kalau ketarik celananya, saya tutupi pakai tas, pakai syal, ih ribet," kata dia terbahak. Untungnya, orangtua kekasihnya tak mempermasalahkan sepasang kupu-kupu yang menghiasi kakinya.
Menurut Sonny, perspektif perempuan terhadap tato sudah bergeser sejak tiga tahun belakangan. Pasiennya kebanyakan mahasiswa dan pekerja yang mayoritas berusia dua puluhan tahun. Namun, ia juga pernah memiliki klien perempuan yang telah berusia 51 tahun. "Jadi masalah umur ini memang tak mengikat, ada juga yang sudah 30 atau 40 tahun membuat tato di daerah yang terbuka itu," kata dia.
Sonny menggarisbawahi, dipasang di bagian manapun, desain tato pada perempuan memang berbeda. "Lebih girly, banyak kupu-kupu, bunga, yang lebih feminin sifatnya. Katakan bunga, tato bunga di laki-laki itu lebih garang dan perempuan lebih feminin kayak mawar atau lotus," kata dia. Selain berbeda dari segi desain, ukurannya pun berbeda. Tato pada perempuan, kata dia, lebih simpel dan kecil. "Pengerjaan maksimal dua atau tiga jam sementara kalau laki-laki kan bisa lebih dari lima jam pengerjaan."
Selama lebih dari lima tahun menjadi tatoo artist, ia tahu kerumitan melayani klien perempuan. "Biasanya rewel soal desain, kadang sudah diarahkan yang bagus itu begini begitu tapi tetap kekeuh karena terpengaruh teman," kata dia. Soal kecocokan desain dengan letak tato akan ditempatkan, perempuan dianggap lebih sulit jika memang sudah berkeras hati. Belum lagi ia harus menghadapi klien yang manja ketika ditemani beramai-ramai. "Dia teriak-teriak sampai akhirnya mengganggu saya, ketika temannya saya minta keluar, dia justru jadi tenang."
Tapi, Sonny menekankan klien perempuan lebih tahan sakit ketimbang laki-laki. "Mungkin karena perempuan terbiasa sakit saat menstruasi, pernah mengalami sakitnya melahirkan jadi lebih hebat dalam mengalihkan rasa sakit," kata dia. Sonny pernah merajah lima ujung jari tangan seorang model Australia. "Sampai saya sendiri heran karena ujung jari ini kan sangat sensitif," kata dia. Puas sekaligus terkesan, ia meminta kliennya memamerkan bintang di ujung jarinya dan fotonya ia unggah ke Facebook.
DINI PRAMITA