TEMPO.CO, Jakarta - Diskalkulia adalah kelainan neurokognitif, kesulitan memahami matematika, dan konsep dasar aritmatika. Penambahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian adalah empat operasi dasar dalam aritmatika.
Seperti disleksia, diskalkulia adalah kondisi yang dibawa sejak lahir, dan diduga diturunkan dalam sejumlah kasus atau bersifat genetik. Ketidakmampuan aritmatika memiliki komponen genetik meski gen yang menyebabkannya belum terdeteksi. Penderita diskalkulia juga sering dikaitkan dengan penderita Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Penyebab lain diskalkulia adalah kelahiran prematur, konsumsi alkohol saat hamil, sampai trauma terkait pembelajaran matematika. Meski bersifat penyakit keturunan, para ahli meyakini, bukan berarti pengidap diskalkulia tidak bisa keluar dari masalah mereka.
Menurut Mutiara Padmosantjoyo, MSc, pakar perkembangan anak dan program adviser HighReach, Learning Care Institution, sebenarnya diskalkulia -seperti disleksia, adalah perkara yang lumrah dalam proses belajar anak. "Bentuk dan tingkat kesulitannya memang berbeda-beda pada tiap anak. Yang penting kemudian adalah bagaimana penanganannya," kata Mutia, lulusan dari University of Groningen, Belanda.
Sebaagian besar penderita mempunyai kesulitan dalam proses visual. Pada beberapa kasus, pada bagian pemrosesan dan pengurutan, matematika memerlukan seperangkat prosedur yang harus diikuti dalam pola yang urut, hal ini juga berkaitan dengan kurangnya memory (memory deficits).
Dalam menangani proses belajar penderita diskalkulia, perlu diperhatikan bahwa keberhasilan belajar sebenarnya adalah kesuksesan kerja sama orang tua, guru, dan siswa. Ketika orang tua atau guru mencurigai ada masalah pada anak, kehadiran psikolog pendidikan anak menjadi jalan tengah untuk mengatasi masalah.
"Bisa psikolog sekolah, bisa juga psikolog yang sudah dikenal orang tua. Lewat observasi, mereka akan menemukan gejala apakah anak mengalami kesulitan belajar atau tidak, dan bagaimana penanganannya," kata Mutiara.
Bersama orang tua, guru, dan psikolog, nantinya akan ditemukan bagaimana cara belajar yang paling nyaman dan tepat buat anak. "Karena ada kalanya hanya dengan orang tua meluangkan sedikit lebih banyak waktu dan kesabaran, apa yang semula dianggap sebagai kesulitan belajar anak akhirnya bisa diatasi.
Berikut ini beberapa gejala penderita diskalkulia:
- Tidak mengetahui dengan baik jumlah yang lebih besar.
- Merasa frustrasi saat menghadapi soal dengan angka.
- Punya masalah spasial dan kesulitan menjejerkan angka pada urutan yang tepat. Mengalami disorientasi antara kiri dan kanan. Menyebut urutan angka dengan melompat atau terbalik.
- Bermasalah dengan konsep matematika dalam kata-kata, atau bingung membedakan angka, seperti 7 dengan 9 atau 3 dengan 8.
- Kesulitan menghitung.
- Umumnya pengidap diskalkulia punya kemampuan normal dalam verbal, membaca, menulis, serta punya memori dan seni visual yang bagus.
- Kesulitan konsep waktu dan jarak. Tampak dari kecenderungan sering tersesat atau telat.
- Tak cakap mengelola keuangan, menggunakan kartu kredit, tak mampu membuat perencanaan keuangan, bahkan takut bertransaksi keuangan.
- Meski bisa paham ketika diajari rumus matematika, biasanya penderita bingung ketika diminta menjabarkannya lagi atau mengerjakan sesuai dengan contoh.
- Sulit memahami notasi musik atau menggunakan jemari untuk memainkan instrumen.
- Bermasalah dalam koordinasi atletis dan menirukan gerakan fisik cepat, seperti pada aerobik atau tari.
- Sering bingung atau punya strategi yang terbatas saat bermain kartu atau catur.
- Kesulitan dalam arah dan membaca peta
SCIENCEDAILY | THINK-PSYCH | KORAN TEMPO | DINA ANDRIANI
Berita lainnya:
5 Cara Selfie ala Dian Sastro
Tanda Anda Tak Sengaja Mencurangi Pasangan
Kenapa Anak Muda Gemar Berfoto Selfie?