TEMPO.CO, Jakarta - Sejak kecil, Sri Karyati, 24 tahun, tidak suka mengenakan rok. Mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta ini memiliki teman sepermainan yang kebanyakan laki-laki. Busana kesehariannya adalah kaus dan celana pendek. Jika ia harus memakai rok, itu pun hanya seragam sekolah." Itu juga terpaksa pakai," ujarnya kepada Tempo.
Bisa jadi Kar—sapaannya— senang mengenakan celana pendek atau panjang lantaran merasa lebih nyaman. Gadis penyuka olahraga bulu tangkis dan sepeda ini mengaku pakaian itu lebih simpel, tidak memerlukan banyak aksesori. Saat kuliah, wajahnya dibiarkan tanpa polesan kosmetik. "Sampai sekarang belum bisa pakai rok, apalagi dandan," kata Kar.
Perilaku Kar ini bisa jadi memang terbentuk oleh lingkungan. Tiga saudaranya perempuan semua. Orang tuanya sebenarnya ingin punya anak laki-laki. Tapi, begitu sang ibu melahirkan, ternyata perempuan lagi. Akhirnya orang tuanya pun sering membelikan celana ketimbang rok sebagai pengganti kekecewaan. Kebiasaan ini terus berlanjut serta membuat Kar lebih nyaman bercelana pendek dan panjang pada setiap penampilannya.
Sementara itu, Lina Setyowati, karyawan swasta di daerah Jakarta Pusat, juga paling doyan memakai celana panjang dan kaus oblong. Sejak kecil pergaulannya juga tak jauh dari teman laki-laki. Dia pun ketularan merokok dan punya hobi memelihara ular.
Adapun Desta, 40 tahun, mengulum senyum saat menuturkan pengalaman masa remajanya dulu. Ibu tiga anak yang berprofesi sebagai pemilik butik busana muslim ini mengakui sejak anak-anak hingga kuliah dirinya adalah anak tomboi."Saya tidak pernah berpakaian perempuan. Hobi main sepak bola dan basket. Semua teman saya kebanyakan cowok."
Sampai ketika kuliah tingkat II, ibu Desta memasukkannya ke sanggar kepribadian dan kursus menari."Tetap saja tomboi. Baru setelah menikah dan punya anak satu, saya berjilbab dan total menjadi perempuan sejati," ujarnya kemudian terbahak. Nama "Desta", kata dia, merupakan kependekan dari nama panjangnya Desita Haryati. "Nama tersebut pemberian teman-teman cowok ketika di SD,"ujarnya.
Yang menarik, di jejaring sosial Facebook juga ada sekelompok anak yang menamakan diri sebagai Komunitas Anak Tomboy. Anggotanya adalah mereka yang merasa tomboi. Administratornya seorang anak perempuan yang cukup cantik dengan potongan rambut ala Korea.
Pada dinding halaman akun komunitas ini, sempat juga si administrator melontarkan pertanyaan tentang pernikahan dan kehamilan. Jawabannya rata-rata mereka juga tetap menginginkan pernikahan dan kehamilan, meski itu baru akan dipikirkan bila mereka kelak dewasa.
Psikolog Tika Bisono mengatakan seorang anak perempuan bisa menjadi tomboi karena beberapa faktor. Salah satunya faktor genetis. Tapi faktor ini merupakan faktor yang tidak mudah diketahui. Dalam perkembangannya, bisa terjadi penyimpangan- penyimpangan.
Selain itu, kata Tika, pola asuh dan lingkungan. Pola asuh yang salah juga bisa membuat anak perempuan menjadi tomboi. Meski begitu, harus dilihat juga sisi pergaulannya. Tika menyebutkan budaya androgini ini bisa masuk ke dunia fashion dan perilaku yang mengikuti tren."Bisa jadi karena diperhatikan orang dan menjadi identitas atau ciri khas mereka,"ujarnya.
Sementara itu, psikolog keluarga Retno Pudjiati mengatakan tidak semua anak perempuan tersebut menjadi tomboi selamanya. "Semua sangat tergantung proses perkembangan dirinya. Ada banyak kasus si tomboi tidak selalu ‘koboi’.Artinya, menjadi tomboi bukan berarti menjadi lelaki sejati atau hidup tak keruan," kata Retno.
Dia pun menjelaskan, beberapa teman dan saudaranya semasa kecil hingga remaja tomboi. Tapi, setelah dewasa dan menikah, mereka justru menjadi sangat feminin. "Yang penting, keluarga tetap mengarahkan si anak tomboi. Tidak membiarkannya larut atau asyik sendiri hingga mengabaikan kodratnya," ujar Retno.
KORAN TEMPO
Berita lainnya:
Sst, Tak Pakai Bra Justru Bikin Payudara Lebih Sehat Lho
Sedih? Menangislah Sepuasnya, Lepaskan Semua
Menumpang di Rumah tapi Perilakunya Keterlaluan, Huh!