TEMPO.CO, Jakarta - Biasanya layar televisi pada Ramadan diramaikan perlombaan menghafal Al-Quran (tahfidz) untuk anak-anak. Yang mengagumkan, peserta lomba tahfidz ini tidak hanya anak-anak usia sekolah dasar, tapi juga para balita.
Bagaimana mungkin seorang bocah yang belum fasih bicara bisa melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran bahkan menghafalnya? Bagaimana cara mendidik anak agar bisa menghafal Al-Quran?
Belajar dari Musa
Di antara para hafiz cilik, Musa, 8 tahun, paling mencuri perhatian. Di usia 6 tahun, ia telah hafal 30 Juz Al-Quran dan berhasil menyabet juara ke-3 lomba tahfidz Al-Quran tingkat internasional di Mesir.
Ayah Musa, Laode Abu Hanafi, membagikan bagaimana cara mendidik Musa hingga mampu menghafal Al-Quran di usia yang sangat belia.
Menurut dia, kunci dalam mendidik anaknya menghafal Al-Quran adalah murajaah atau mengulang-ulang hafalan. Musa melakukan murajaah setiap pagi setelah subuh hingga jam 09.00 pagi. Setelah itu ia sarapan dan tidur siang. Murajaah dilakukan kembali setelah salat zuhur hingga asar.
Setelah asar, saatnya Musa menghafal kitab-kitab hadis. Menjelang magrib, waktunya Musa bermain. Magrib hingga isya, Musa menemani sang ayah memberikan taklim. Musa sanggup melakukan murajaah sebanyak sepuluh juz setiap hari!
Apa yang dilakukan Musa sejalan dengan yang diutarakan Anggia Chrisanti, konselor dan terapis di Biro Konsultasi Psikologi Westaria.
“Pada dasarnya proses menghafal menggunakan prinsip copying atau meniru. Banyak anak yang bicara pun belum jelas, tapi hafal lagu-lagu Barat. Jika dilakukan terus-menerus, berkesinambungan, dan konsisten, semua hal bisa dihafal,” urainya.
Menjaga hafalan
Banyak cara yang dilakukan Abu Hanafi untuk menjaga hafalan Musa, salah satunya dengan membatasi pergaulannya. Ia tidak diperkenankan sembarangan bermain. Menonton TV? Big no bagi Abu Hanafi, TV hanya mengalihkan konsentrasi anaknya dan membuyarkan hafalannya. Ia juga memberikan makanan-makanan yang baik untuk meningkatkan daya ingat Musa, seperti sari kurma, madu, dan propolis.
Banyak anggapan skeptis, Abu Hanafi telah merampas hak anak untuk bermain. Namun, Anggia berpendapat, Musa dan banyak anak lain berhasil menghafal Al-Quran berkat faktor lingkungan keluarga yang sangat kuat. Anak-anak itu dididik sendiri oleh orang tua secara kontinu dan konsisten.
“Anak-anak ini hampir pasti terbiasa dengan kehidupan religius, di mana aktivitas religius seperti menghafal Al-Quran bukan hanya aktivitas tambahan, tetapi bahkan sudah seperti bermain. Jangan menganggap anak-anak ini tidak bermain. Cara menghafal dibuat sebagai kebiasaan yang menyenangkan, sehingga bisa dianggap sebagai bermain,” paparnya.
Bersabarlah
Abu Hanafi menekankan, bersabarlah saat mengajarkan anak-anak. “Ketika si anak tidak bisa mengucapkan suatu huruf atau ia lupa satu ayat dalam Al-Quran, bimbing ia dengan perlahan dan penuh sabar. Emosi (timbul), karena orang tua merasa telah mengajarkan, tapi si anak tidak bisa, atau bisa tapi lupa dan lupa lagi. Jangan dimarahi, karena itu hanya akan membuat anak takut dan bingung, gugup, dan akhirnya malah buyar ingatannya, hanya memperlambat proses belajarnya,” tulis Abu Hanafi dalam status Facebook.
Anggia kembali mengingatkan, anak akan lebih mudah menghafal, jika aktivitas ini diterapkan secara menyenangkan. “Teori menjelaskan, emosi positif (cara, situasi, dan hal yang disukai dan menyenangkan) 85 persen akan mudah masuk ke otak, disimpan di otak kanan yang sifatnya jangka panjang. Itu sebabnya kita masih bisa mengingat lagu-lagu jadul tahun 90-an bahkan 80-an sekalipun. Karena lagu sifatnya menyenangkan untuk didengar,” ujarnya.