TEMPO.CO, Jakarta - Di akhir bulan Ramadan, kaum ibu sibuk berbelanja. Mereka belanja untuk memenuhi kebutuhan Lebaran. Begitu mendapatkan uang THR, ibu sering kalap belanja.
Terlepas apakah ibu yang berbelanja itu bekerja atau tidak, mereka kerap dihantui perasaan bersalah karena meninggalkan anak sepanjang hari. Membelikan ini-itu dalam jumlah yang hampir tidak rasional, terutama untuk menyenangkan anak karena melulu ditinggal kerja.
Terlebih jika anak masih balita. Padahal anak yang masih sangat kecil tidak terlalu butuh materi sebanyak itu. Rasa bersalah yang dirasakan ibu itu subyektif. Artinya, bisa saja seperti itu adanya, memang bersalah, atau sekadar perasaan sang ibu.
“Motif serta alasannya pun bisa sangat beragam. Begitu pula tingkat kedalamannya. Rasa bersalah juga sulit dideteksi. Seringnya, semakin dalam rasa bersalah, semakin rapat tersembunyi dari orang lain,” kata Anggia Chrisanti, psikolog anak dan keluarga.
Berikut ini kiat menghadapi perasaan bersalah tersebut.
1. Kesadaran (awareness)
Setiap orang pasti punya rasa bersalah, entah kenapa atau kepada siapa. Begitu pun halnya diri kita. Kesadaran merupakan langkah awal yang akan menjadi jalan pembuka untuk menemukan dan menyelesaikan rasa bersalah itu dengan tepat. Sebaliknya, jika menyadarinya pun tidak mau, bahkan menyangkal, semakin sulit bagi kita menyelesaikannya.
2. Penerimaan (acceptance)
Menerima perasaan bersalah terhadap suatu hal dengan skala (buatlah skala pribadi dengan 0 = tidak merasa bersalah sama sekali dan 10 = amat sangat merasa bersalah). Tahap ini tidak mudah. Defence mechanism atau ego akan melakukan banyak pembelaan, baik bantahan logika maupun dalam bentuk perilaku.
Misalnya, seorang ibu yang merasa bersalah karena meninggalkan anak batitanya setiap hari, dari pagi sampai malam, untuk bekerja di luar rumah atau kantor, cenderung akan sangat posesif, protektif, atau justru permisif. Juga bisa jadi sangat royal dengan memenuhi apa pun permintaan anak. Semua itu dia lakukan untuk menutupi dan atau membayar rasa bersalahnya.
3. Memaafkan (forgiveness)
Lagi-lagi, di sini dilema terbesarnya. Memaafkan orang lain jauh lebih mudah daripada memaafkan sedikit saja kesalahan atau rasa bersalah kita. Masalahnya, ketika sedikit atau sebesar apa pun kesalahan kita kepada orang lain atau sebaliknya, baru dianggap sah jika telah saling mengatakan dan mengakui kesalahan. Tidak sekadar menduga atau merasa bahwa telah memaafkan atau meminta maaf.
Adapun perasaan bersalah kepada diri sendiri akan memicu pertempuran batin. Sering kita tidak mengatakan, apalagi mengakui dengan tegas, bahwa kita telah menerima dan memaafkan diri kita atas kesalahan tersebut.
Berita lainnya:
Manfaat Rumah Bersih dan Rapi buat Kesehatan
Logika Puasa, Berat Badan Turun, juga Massa Otot
7 Kebiasaan Buruk Orang Tua yang Berdampak pada Anak