TEMPO.CO, Jakarta - Tren sharenting atau sharing about parenting di media sosial beberapa waktu ini mulai mengundang perdebatan seru. Kebanyakan ibu merasa boleh-boleh saja, tapi sebagian lainnya menganggap sharenting melanggar privasi anak.
Menurut psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, sharenting merupakan sebuah perilaku yang terjadi alami. Hal itu tidak dapat dihindari, terutama oleh para ibu. Ibu rumah tangga biasanya lebih luwes mengatur waktu dan berbagi soal anak-anaknya.
Sharenting untuk berbagi kebahagiaan tidak masalah. Sharenting baru akan berdampak negatif jika dilakukan secara tidak wajar.
Anna menyebut, ketidakwajaran mulai terlihat ketika orang tua membagikan segala hal, tidak terkecuali, dan terlalu detail dalam memberi informasi.
Berikut ini beberapa dampak negatif sharenting yang dilakukan secara tidak wajar.
- Bisa menimbulkan rasa iri. Terlebih foto yang di-share mengandung hal-hal yang mahal atau mewah. Bisa sekaligus menimbulkan rasa cemburu sosial.
- Beberapa informasi detail dapat mengundang kejahatan. Contoh, jika mengunggah foto nomor paspor atau boarding pass. Penjahat dapat mengambil data ini untuk tujuan yang buruk. Apabila ketahuan sedang di luar kota, penjahat bisa merasa aman melakukan pencurian di rumah.
- Orang lain jadi mengenal anak dan bebas memanggil namanya. Padahal anak kecil cenderung lebih percaya kepada orang yang memanggil namanya. Dengan demikian, anak akan lebih berisiko diculik.
- Foto anak yang dibagikan di media sosial dapat diambil orang lain tanpa diketahui. Lalu dimasukkan ke situs yang tidak jelas. Biasanya dilakukan oleh pedofilia. Masalahnya, kita tidak tahu siapa di antara teman kita yang pedofilia.
- Ada risiko foto anak akan diambil dan diakui sebagai foto anak orang lain. Semacam digital kidnapping.
- Suatu hari kelak, anak mungkin akan protes karena orang tua tidak menjaga privasinya.