TEMPO.CO, JAKARTA- Angka pengunduran diri karyawan alias turnover kian hari kian tinggi. "Beberapa tahun lalu hanya 10 persen per tahun, sekarang meningkat jadi 30 persen," kata Mayya Indriastuti, manajer operasional Daya Talenta Indonesia, perusahaan konsultan sumber daya manusia, kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Menurut Mayya, tren turnover saat ini dapat dibilang memasuki tahap ekstrem. Sekitar sepuluh tahun lalu, mengundurkan diri sebelum masa kerja lima tahun dianggap pemali. Namun sekarang, dia menambahkan, banyak perusahaan kehilangan karyawan yang baru bekerja seumur jagung. Kebanyakan dari mereka adalah generasi Y. "Mereka tak akan ragu untuk meninggalkan perusahaan demi peluang baru, meski baru setahun bekerja," ujar dia. Mirip kutu loncat.
Baca Juga:
Generasi Y-sering juga disebut Gen-Y dan generasi milenium—merujuk pada mereka yang lahir pada rentang sekitar 1981–1999. Pada 2010 di Indonesia, populasinya mencapai 80 juta jiwa, dan diperkirakan akan mencapai 90 juta jiwa pada 2030. Dengan demikian, Mayya mengatakan, tak salah jika generasi yang saat ini berusia 17–35 tahun inilah yang kini disebut-sebut sebagai motor dunia kerja.
Dia mengatakan Gen-Y merupakan aset yang dinamis, cerdas, multitasking, efisien, mandiri, dan berpotensi menjadi aset-aset terbaik. "Jika diperlakukan dengan baik, mereka sangat menguntungkan perusahaan," kata Mayya.
Senada, Ivan Sudjana, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan generasi ini berkarakter optimistis, pekerja keras, cerdas, kreatif, dan sangat dipengaruhi oleh teknologi. "Bicara persaingan? Generasi ini yang terbaik untuk memenangi persaingan," kata dia.
Namun mereka memiliki sederet karakter yang menjadi poin negatif bagi perusahaan. Ivan mengatakan Gen-Y dikenal tipis—tidak sabaran dan "cerewet". "Mereka mudah protes," kata dia. Terutama, jika lingkungan kerja dan fasilitas tak sesuai dengan ekspektasi. Tak mengherankan jika Gen Y juga kerap dipandang sebagai tukang buat onar, bikin gaduh.
Berdasarkan keterangan Mayya dan Ivan, yang menjadi persoalan adalah kesenjangan komunikasi antara Gen-Y dan generasi sebelumnya—yang banyak menjadi atasan mereka. "Mereka kesulitan menangani alien, makhluk aneh yang sulit sekali ditebak karena beda karakter," kata Ivan.
Cara menghadapinya, dia menerangkan, tak perlu banyak dikte dan ceramah. Menurut dia, generasi ini memiliki standar prosedural dan etik sendiri. "Kadang mereka menganggap enggak perlu diceramahi ini-itu. Lihat saja hasilnya," ujar Ivan. Selanjutnya, perbaikan fasilitas. "Setelah itu, tenang saja. Target perusahaan pasti akan tercapai dengan cara mereka yang ajaib," kata Ivan.
Ivan mengungkapkan titik kritis lainnya adalah gaya berkomunikasi. Generasi milenial yang tak suka didikte lebih mudah tersulut amarahnya oleh atasan bergaya bossy. "Mereka butuh pimpinan yang memotivasi dan bisa kasih teladan, idola," kata dia.
Ivan menilik hasil riset Great Place to Work, lembaga penelitian di Amerika Serikat, tentang 100 perusahaan yang dianggap menyenangkan bagi generasi milenial. Kesamaan perusahaan ini adalah memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh karyawan, promosi-tunjangan-gaji dan bonus yang diberikan secara fair, dan atmosfer kerja yang memberi ruang komunikasi dua arah.
Ivan mencontohkan Google—mimpi generasi milenial akan tempat kerja ideal. "Suasana kerjanya sangat nyaman dengan berbagai servis di tempat kerja, bahkan bisa tidur siang dulu tanpa mengganggu performa sama sekali," kata dia. Perusahaan, kata dia, juga membiarkan karyawan bekerja di mana pun dengan jadwal yang fleksibel.
Ada karakter yang unik dari generasi ini. Menurut Ivan, mereka tidak menuntut gaji tinggi, melainkan fasilitas yang sedapat mungkin bisa dipamerkan di media sosial. "Berilah fasilitas seperti kesempatan untuk belajar atau dikirim ke mana," kata dia. Secara psikologis, dia menjelaskan, kebutuhan Gen Y menjadi "terkenal" juga dapat dipenuhi dengan cara ini.
Mayya mengatakan kebutuhan apresiasi Gen-Y sangat tinggi dibanding generasi sebelumnya. "Perusahaan dapat memberikan apresiasi itu dengan bonus, tunjangan, promosi, kesempatan travelling gratis," kata dia. Jika tidak, generasi kutu loncat ini akan menclok ke tempat lain yang menjanjikan hal tersebut.
DINI PRAMITA