TEMPO.CO, Jakarta - Kebanyakan orang tua menganggap remeh celotehan anak. Sebagian menganggap mereka mengarang cerita sekadar untuk menarik perhatian. Kebiasaan itu berbahaya, terlebih saat semakin maraknya kejahatan yang memakan korban anak-anak.
Pakar pendeteksi kebohongan, Handoko Gani, mengatakan seharusnya orang tua lebih peka dan sensitif terhadap apa yang anak sampaikan. “Sejak berusia 2,5 tahun, omongan anak sudah bisa dipercaya. Bahkan mulai 4 tahun dapat digunakan sebagai keterangan dalam persidangan,” ucap Handoko.
Jadi, Handoko melanjutkan, jangan pernah melewatkan cerita yang disampaikan anak karena bisa saja mereka menyampaikan sesuatu yang penting. Hanya saja, butuh kejelian dalam memilah informasi dalam celotehan tersebut. Sebab, namanya juga bocah, alur bicaranya masih acak-acakan.
Dari ilmu psikologi, ada dua teknik yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi kebenaran dan kebohongan dalam cerita anak. Pertama, Statement Validity Assessment (SVA). Teknik asal Swedia ini menyodorkan 19 kriteria yang harus diperhatikan dalam menyimak cerita anak. “Baik lewat kata-kata, ekspresi, maupun kronologi,” ujar Handoko.
Kedua, The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) Protocol. Metode yang dikembangkan dari Jerman ini menggunakan pola komunikasi investigasi—mengajukan pertanyaan terbuka kepada anak sehingga bisa dianalisis dan diperoleh fakta-fakta dari peristiwa yang dialaminya. Meski mengandung unsur "pemeriksaan mendalam", cara ini harus dilakukan tanpa intimidasi dan potensi trauma terhadap anak. “Orang tua seharusnya bisa lebih paham bagaimana melakukan cara ini sesuai dengan karakter anak mereka,” ujar grafolog Deborah Dewi.
Selain dari ekspresi dan cerita, Deborah melengkapi proses memahami karya anak, misalnya dengan gambar. Coretan-coretan anak, menurut Deborah, jangan dibuang begitu saja. “Orang tua bisa mempelajari apa yang ada dalam pikiran anak lewat gambar mereka,” katanya.
Komponen Cerita Jujur Anak:
- Ada struktur logika kejadian.
- Cerita dengan detail, tapi secara acak dan membingungkan.
- Ada penjelasan dari kejadian bersamaan.
- Ada deskripsi interaksi antartokoh.
- Ada kompleksitas kejadian.
- Detail berlebihan, termasuk atas kejadian yang bukan esensi cerita.
- Melibatkan perasaan anak dan tokoh tersangka dalam cerita.
- Ada momen yang dia lupakan, ragu, dan memberikan koreksi spontan.
- Disertai penyalahan diri sendiri dan pemakluman kepada tersangka.
Baca juga:
Anak Pintar Saja Tak Cukup, Apalagi?
Tip Supaya Anak Berhenti Ngompol
Pola Asuh yang Cocok untuk Anak Masa Kini