TEMPO.CO, Jakarta - Martabak adalah kreativitas tanpa batas. Sepuluh tahun silam, variasi isi martabak manis mentok di kacang-cokelat-wijen dan keju. Kini, apa saja ada di sana, mulai dari pisang, durian, dan, yang paling banyak, berbagai jenis cokelat impor.
Tidak seperti martabak telur yang variasi isinya tidak jauh dari daging sapi dan ayam giling, roda kreativitas martabak manis pantang berhenti berputar. Terakhir, modifikasi yang dilakukan Blackpool di Gandaria, Jakarta Selatan, menembus lebih jauh dari filling, tapi juga kulitnya. Hendy Haryanto, sang pemilik, mengganti terigu dengan adonan pembuat kue tar blackforest. "Sehingga jadi hitam," ujar dia kepada Tempo.
Martabak hitam, tentu saja, menjadi magnet. Sejak buyut kita lahir, martabak manis, ya, kuning. Makanya, sebagian masyarakat Indonesia mengenalnya dengan terang bulan, mengacu pada bentuknya saat dipanggang dengan api kecil di loyang bundar.
Jika kulitnya saja sudah beda, isinya tidak mau ketinggalan. Andalan gerai Hendy adalah Martabak Blackforest Cream Cheese Oreo. Isinya, mudah ditebak, krim putih biskuit andalan Kraft tersebut, plus pecahan biskuitnya.
Satu pelopor penggerak evolusi tersebut adalah Martabak 65A di Pecenongan, Jakarta Pusat. Pada 2013 lalu, seorang juru masak mereka, Danniel Jusuf Sutikno, iseng-iseng memasukkan serpihan Toblerone sebagai isi martabak. Tidak berhenti pada cokelat asal Swiss tersebut, dia melanjutkan eksperimennya dengan Nutella dari Italia.
Hasilnya, demam martabak Nutella dan Toblerone melanda Jakarta, dan menyebar ke kota-kota lain. Meses asal Bandung yang menjadi andalan tukang martabak selama puluhan tahun pun mulai tergusur. Takaran di berbagai gerai nyaris sama. Semuanya royal. Satu botol Nutella 400 gram hanya cukup untuk dua loyang. Sementara itu, butuh 200 gram Toblerone-dua batang ukuran standar-untuk satu loyang martabak Toblerone. Setahun terakhir, hadir pula martabak Ovomaltine, cokelat bercampur malt dari Swiss.
Berbekal variasi seperti itu, gerai-gerai martabak tumbuh dan menjadi besar. Mereka tidak lagi menggunakan gerobak dan kedai lusuh, melainkan format yang lebih kekinian. Seperti Martabak Boss yang memakai peti kemas dan tersebar di tujuh lokasi di Ibu Kota.
Maka, martabak pun menjelma menjadi jajanan pinggir jalan dengan rentang harga paling lebar. Sebelum tren cokelat impor ini, selembar uang lima puluh ribuan rupiah cukup untuk membawa pulang seloyang martabak manis. Kini, banderolnya melambung sampai Rp 150 ribuan. Namun, apa pun bentuk toko dan tarifnya, ada satu yang tidak berubah dari martabak, selamanya jadi jajanan pinggir jalan.
Selanjutnya: Martabak Blackpool