TEMPO.CO, Jakarta - Agie Purwa merintis usaha fesyen kulit sejak remaja, tepatnya di tahun 2000. Ketika itu, Agie menangani permintaan konsumen dari Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Agie kemudian memproduksi aneka produk fesyen berbahan kulit, di antaranya sepatu.
Menurutnya, rata-rata jumlah pemesanan sepatu kulit lebih dari 100-an pasang per tahun. Pemesanannya itu diteruskan ke para pembuat sepatu lokal. Dia mengawasi proses produksinya untuk menjaga kualitas produknya. Terkadang, sepatu buatan pengrajin lokal ini tidak memenuhi standar yang ditetapkan konsumennya. Mau tidak mau, Agie memberikan edukasi kepada perajin. Hal itu terus dilakukan antara tahun 2000 hingga pertengahan 2015.
Berkat ketekunannya, Agie mendulang reputasi dan kepercayaan dari pembeli. “Ketika itu, saya mempromosikannya via situs internet. Ketepatan waktu dan kualitas produk menjadi modal untuk menyakinkan konsumen luar negeri,” terang wanita kelahiran 21 Desember 1979 ini. Dia menyebutkan keterlibatannya di bisnis ini karena melihat celah bisnis yang prospektif.
Pengalamannya membuatkan sepatu untuk merek luar negeri menginspirasi Agie untuk terjun ke bisnis manufaktur sepatu. Ia memutuskan untuk mendirikan merek Jasmine Elizabeth pada pertengahan 2015. “Pada Desember tahun lalu, Jasmine Elizabeth mulai berdiri dan menjual sepatu,” katanya. Agar memikat pembeli, Agie mengkombinasikan cita rasa lokal dan Eropa untuk desain sepatunya.
Langgam sepatu Jasmine Elizabeth mengusung gaya foot couture. Menurut Agie, rangkaian koleksi sepatu yang bakal ditampilkan ini dibuat manual oleh perajin lokal. "Seratus peresen dibuat dengan tangan dan diawasi ketat agar mutu dan kualitasnya terjaga, serta desainnya dibuat sesuai musim. Sepatu kami dibuat berdasarkan dua musim, yaitu fall dan winter serta spring dan summer,” tandasnya.
Lantaran dibuat manual, kapasitas produksinya terbatas. Dua orang perajin menghasilkan sepasang sepatu yang dikerjakan dalam dua hari. Untuk harganya, Agie membanderolnya Rp 1,6-2,5 juta per pasang. “Dalam sebulan, rata-rata terjual 25 pasang,” katanya. Sejauh ini, sepatunya banyak terjual di Jakarta dan Bali. “Ke depannya, ingin dijual ke luar negeri, saat ini saya sedang menjajaki pasar di Miami dan Sydney,” terangnya.