TEMPO.CO, Jakarta - Aroma daging keluar dari asap yang mengepul dan suara mendesis daging sapi mentah, menu Beef Pepper Rice. Panas 260 derajat membuat daging cepat matang. Dan kematangan itu makin merata setelah diberi mentega, supaya menu makin beraroma dan tidak lengket.
Menu makan dimasak menggunakan batu panas (hot stone) dan dihidangkan bersama taoge impor (jenis besar) serta butiran jagung manis tersedia di gerai Pepper Lunch.
Resto ini mengusung menu makanan cepat saji steak dari waralaba Negeri Singa. Memposisikan diri menghidangkan menu cepat saji layaknya menu ayam goreng atau roti isi (burger) sistem waralaba yang sudah populer. Menu masakan menggunakan media batu panas sudah disiapkan dalam tempat yang dinamakan induction cooker. Hanya butuh 70 detik untuk memanaskannya.
Panas yang dihasilkan sampai 260 derajat celsius. Cukup untuk memanaskan daging bolak-balik, dengan tingkat kematangan sempurna. Tanpa campur tangan chef, kita tinggal menambahkan saus bumbu, lada, atau saus sambal.
Menu yang dipanaskan biasanya berupa protein, seperti daging, ikan salmon, remis, atau cumi. Sebagai pengembangan menu, risotto (nasi berbumbu gaya Italia) dipanaskan di atas batu panas. Campurannya, ayam, udang, atau ikan salmon. Untuk menu pembuka, ada sup miso (kaldu dan tahu sutra) dan salad.
Selain untuk menu cepat saji, batu panas digunakan untuk memasak menu yang pantas untuk makan malam romantis, santai, dan penuh bincang. Resto Stonegrill asal Australia sampai membuka dua lini resto dari dua lokasi berbeda, menu Steak Express di Sultan Iskandar Muda, Pondok Indah; dan menu Steak Dining di Kuningan. “Perbedaan juga terletak pada harga menu,” kata staf Stonegrill Express. Menu dining lebih tinggi harganya dibanding menu cepat saji.
Resto Pepper Lunch menggunakan panas 260 derajat untuk memasak. Bentuk batunya bulat, diberi latar kayu. Dan batunya lebih tipis dibanding batu gunung yang digunakan di Stonegrill. Bentuknya kotak, dan diberi alas pinggan kaca segi empat yang tahan sampai 400 derajat celsius.
Pepper Lunch hadir dari konsep penemunya, seorang chef asal Jepang, Kunio Inchinose, pada 1994. Prinsipnya sederhana, bagaimana menyajikan makanan cepat saji tanpa merekrut chef. Ia memakai plat panas dari metal dengan suhu 260 derajat Celsius yang dipanaskan dengan sebuah pemanas elektromagnetik. Daging mentah bisa dinikmati tergantung pilihan konsumen, mau setengah matang atau matang sekali. Tambahannya memakai saus madu (amakuchi) atau saus kedelai campuran bawang putih (karakuchi).
Teknik memasak menggunakan batu ini digunakan dari masa ke masa, sejak manusia masih primitif hingga zaman modern. Di masa Mesir kuno, masyarakat menggunakan teknik pembakaran dan pemanggangan di atas batu, selain menggunakan cara lain, seperti merebus, mengasapi, dan membuat gerabah untuk alat masak sederhana.
Di Indonesia, tradisi turun-menurun pesta makanan yang dinamai pesta bakar batu masih terdapat di wilayah pegunungan Tolikara, Wamena, Papua. Mereka memasak menggunakan bongkahan batu yang sebelumnya dipanasi. Yang dimasak di antaranya daging (babi) dan sayur sayuran.
Buku A Culinary Journey through Time karya Sabine Karg mencoba merekonstruksi seni masak-memasak di Eropa tengah dan utara, dengan bukti peninggalan arkeologi. Pada masa itu, di wilayah Nordic (Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia--keturunan bangsa Viking), orang memasak makanan mentah menggunakan batu yang dipanaskan.
Karg, yang seorang arkeolog, botanis, dan peneliti di University of Copenhagen, Saxo Institute, menjelaskan soal bahan mentah (daging, sayuran, dan biji-bijian) yang dimasak masyarakat tempo dulu. Menurut dia, di tengah kehidupan serba sibuk, di mana memasak menjadi prioritas paling buncit, pilihannya hanya makan burger sembari bekerja, menonton televisi, atau main game komputer. “Cara masak zaman prasejarah mungkin bisa mendobrak kebiasaan masa kini yang serba praktis,” katanya. Kini, cara memasak menggunakan batu panas bisa jadi merupakan bentuk pelestarian kuliner masa lalu. Sebuah penghargaan bagi sejarah seni masak-memasak tentunya.