TEMPO.CO, Jakarta - Semangat seorang aktivis sudah menghinggapi Dhyta Caturani sejak belia. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, dia mengirimkan surat dukungan kepada mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang kerap berunjuk rasa menentang Presiden Soeharto. Ia pun terlibat pergerakan mahasiswa saat masuk ke Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada pada 1994.
Di Kota Gudeg, semangat Dhyta kian menyala. Dia ikut kelompok diskusi Tegak Lima, bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, hingga ikut berdemonstrasi menumbangkan rezim Soeharto pada 1998. Berbagai bentuk kekerasan fisik dari aparat telah dirasakannya. Peristiwa yang paling menonjol adalah ketika ia dihajar serdadu di depan kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, pada 1999. Giginya rontok. Ia harus dirawat.
Kini, pada era Reformasi, Dhyta masih menyuarakan perlawanan terhadap yang dia anggap salah. Melalui berbagai wadah, termasuk Internet dan media sosial, dia rajin menyuarakan isu demokratisasi. Dhyta pun bergabung dengan Gerakan Indonesia tanpa Front Pembela Islam, One Billion Rising, Festival Belok Kiri, dan PurpleCode—komunitas pemerhati gender dan teknologi. PurpleCode atau Kode Ungu pun menjadi wadah yang paling banyak menampung spirit aktivisme Dhyta. ”Internet adalah wadah di mana ekspresi dan suara perempuan bisa setara dan didengar,” kata Dhyta.
Sebetulnya ada banyak jejak Dhyta dalam aktivisme sosial di Indonesia. Dari advokasi kasus penculikan aktivis 1998, advokasi korban kekerasan 1965, hingga yang terbaru membantu perlawanan warga Pegunungan Kendeng menolak industri semen. Perempuan ini juga ada dalam pemutaran film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta garapan Rahung Nasution dan Belok Kiri.Fest yang sempat dilarang beberapa waktu lalu. “Aku enggak pernah membatasi diri di isu-isu tertentu saja. Pokoknya demi HAM dan demokrasi,” kata Dhyta.
Dhyta juga kerap menjadi pembicara dalam sejumlah kegiatan pembelajaran Internet dan forum internasional. Dua tahun terakhir, Dhyta diundang mengikuti kegiatan Internet Governance Forum, forum yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membicarakan isu-isu Internet. Ia juga aktif di Feminist Principle of the Internet. “Ada 50 perempuan dari 30 negara yang membahas isu feminisme di situ,” ujarnya.
Baca Juga:
Untuk menyambung hidup, Dhyta punya beberapa pekerjaan. “Kalau untuk makan, aku freelance sebagai penerjemah atau fasilitator,” kata dia. Dhyta sudah tak punya penghasilan tetap sejak keluar dari Engage Media, organisasi nirlaba yang menggunakan teknologi media dan perangkat lunak bebas untuk aktivisme sosial. Dia keluar dari sana karena ingin berfokus menggarap PurpleCode selaku proyek kolektif.
Bila ditarik sejak pertama Dhyta berkuliah, praktis pemilik akun twitter @purplerebel itu sudah 20 tahun lebih menjadi aktivis lintas isu. Dhyta mengaku belum mau berhenti. “Melelahkan sih, tapi ‘di situ’ enaknya,” kata Dhyta. Komitmen dan konsistensi aktivismenya kini diuji waktu.
TITO SIANIPAR