TEMPO.CO, Jakarta - Desainer Sheila Agatha mempekerjakan penjahit difabel untuk mempersiapkan pakaian yang akan diikutkan pagelaran busana di London.
Sabtu, 9 April 2016, saat Tempo menemui Sheila di bengkel kerjanya di Purbalingga, Jawa Tengah, suara mesin jahit terdengar berlomba-lomba. Ada empat penjahit yang bekerja sejak jam 8 pagi. Tak sekalipun terdengar keempatnya bersuara.
“Mereka tunawicara,” ujar Sheila Agatha, perancang busana yang mempekerjakan empat penjahit itu. Para penjahit ini menderita tunarungu sejak lahir.
Arif Hidayat, penjahit yang telah bekerja tiga tahun dengan Sheila, bercerita dengan menulis di kertas. Dia mengatakan tidak pernah menyangka masih ada orang yang mau mempekerjakan kaum difabel. “Bekerja sangat nyaman di sini,” tulis Arif. Selain Arif, tiga penjahit lainnya adalah Tamam, Lisa, dan Sarah. Sheila menggaji pegawainya sebesar upah minimum. Bisa ditambah bonus, bergantung pada produksi bulan itu. Pekerjanya juga mendapat makan siang dan malam gratis, ditambah camilan.
Saat pesanan sedang penuh, Sheila ikut meneruskan jahitan para pekerja dari sore sampai subuh. “Begitu masuk pagi, mereka lanjutkan lagi,” ucapnya. Agar produksi bisa sempurna, Sheila akan membuat satu potong contoh jadi untuk ditiru oleh para pegawainya.
Baca Juga:
Karyanya yang diberi merek Sean & Sheila sebagian dikirim ke Galeries Lafayette, Mal Pacific Place, Jakarta, untuk dijual dengan harga Rp 700 ribu hingga Rp 6 juta. Sebagian lagi dijajakan di gerai online Malaysia, Fashionvalet. Karya Sheila juga dipamerkan di luar negeri.
Pada Maret lalu, Sean & Sheila mejeng di perhelatan Singapore Fashion Steps Out. “Kami juga sedang menyiapkan beberapa pakaian untuk pergelaran di London bulan depan,” kata Sean Loh, tunangan sekaligus mitra bisnis Sheila.
Nama Sheila mulai dikenal sejak ia mewakili Indonesia berkompetisi dengan perancang Asia lainnya dalam Harper’s Bazaar Asia New Generation Fashion Designer Award pada 2013. Dari kompetisi itu, undangan pergelaran busana berdatangan. Sheila lalu menjadi satu-satunya desainer Indonesia yang tampil di Mercedes-Benz Fashion Week Australia 2014 .
Kecintaan Sheila terhadap dunia fashion dimulai sejak SMA. Lulus sekolah, Sheila mengambil diploma di Raffles Malaysia. Dia lalu hijrah ke Singapura untuk melanjutkan studi. Bekerja sebagai konsultan busana di Singapura, pada 2012 Sheila kembali ke kampung halamannya. Ia bermimpi membuka usaha dari Purbalingga dan dijual ke penjuru dunia. “Saya tidak berminat dengan kota besar,” ujarnya.
Tak mudah membangun mimpi di Purbalingga. Ia memiliki keterbatasan dana dan sumber daya manusia. Jahitan apa pun ia kerjakan untuk mencari modal usaha, termasuk gaun pernikahan kakak perempuannya, Stephanie Widjaja. Mulailah ia mencari mesin jahit dan tenaga kerja. Tapi tenaga kerja yang ia peroleh selalu bermasalah.
“Rata-rata pemalas dan sibuk main handphone,” kata Sheila. Stephanie lalu menyarankan Sheila menggunakan tenaga kerja dari sekolah luar biasa. Sheila sepakat. “Ternyata hasilnya bagus, dan bekerja dengan mereka juga memberi pengalaman berharga buat saya,” katanya.
GUSTIDHA BUDHIARTIE