TEMPO.CO, Jakarta - Kini, semakin banyak orang tua yang menginginkan perkembangan yang serba instan pada anaknya.
Keinginan untuk mencetak anak-anak super tersebut membuat orang tua lupa bahwa setiap anak sebaiknya menerima asupan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan usianya serta kemampuan fisiknya.
Akibatnya, jika orang tua tersebut menilai buah hatinya tidak sesuai ekspektasi, mereka akan langsung memeriksakannya ke dokter spesialis anak untuk dicek apakah anak tersebut mengalami keterbelakangan perkembangan atau tidak.
Nah, jika hal tersebut juga terjadi pada Anda, berhati-hatilah. Sebab, kesalahan penilaian terhadap proses tumbuh kembang anak akan berakibat sangat fatal bagi masa depannya. Anak yang seharusnya normal bisa jadi malfungsi akibat kesalahan diagnosis tersebut.
Canadian Task Force on Preventive Health Care menyoroti fenomena yang terjadi di Amerika Utara, di mana banyak orang tua yang mengajukan screening keterlambatan verbal dan lingual serta screening gangguan spektrum autisme pada anak-anak mereka.
Screening atau pengecekan tersebut banyak dilakukan terhadap anak berusia satu hingga empat tahun, yang sebenarnya justru tidak menunjukkan gejala-gejala keterlambatan tumbuh kembang.
Anggota Task Force tersebut, Dr. Brett Thombs, mengungkapkan banyak orang tua yang meminta anaknya dicek hanya karena perkembangannya tidak memenuhi ekspektasi mereka. Mereka pun langsung menganggap anaknya mengalami keterbelakangan.
"Padahal keterlambatan tumbuh kembang itu seharusya mencakup hal-hal seperti masalah kemampuan motorik, bicara, bahasa, berpikir, bersosialisasi, serta aktivitas lainnya dalam kehidupan sehari-hari," jelasnya, dikutip dari Reuters,Sabtu, 16 April 2016.
Anak yang mengalami keterlambatan tumbuh kembang berisiko mengalami kesulitan dan masalah perilaku sertai fungsi tubuh saat mereka beranjak besar. Untuk melakukan screening keterlambatan tumbuh kembang, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan.
Peralatan screening biasanya berupa kuesioner yang mengarah pada beberapa poin.
"Poin-poin tersebut akan menentukan apakah para ahli medis harus melakukan tindakan lebih lanjut terhadap anak yang diperiksa atau tidak," kata Thombs.
Bagaimanapun, dia mendapati fakta bahwa screening tersebut sebenarnya tidak berdampak signifikan terhadap tumbuh kembang anak. Justru, pengecekan tersebut berpotensi mengakibatkan salah diagnosis.
Kesalahan diagnosis tersebut membuat anak yang sebenarnya normal justru dirujuk untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Tindakan tersebut berisiko membuat anak yang seharusnya baik-baik saja menjadi pesakitan.
"Itulah sebabnya kami tidak menyarankan orang tua terlalu cepat mengambil keputusan dan memeriksakan anaknya untuk masalah keterlambatan perkembangan, kecuali jika memang anak tersebut menunjukkan gejala-gejala yang mengkhawatirkan," tegasnya.
Sementara itu, psikolog anak dan keluarga dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI) Mira D. Amir menjelaskan orangtua seharusnya membuat skala prioritas mengenai pendidikan mana yang memang dibutuhkan anaknya dan mana yang tidak.
"Jangan sampai hanya karena menginginkan anak yang cerdas di atas rata-rata usianya, para orang tua justru menjejali anak dengan pendidikan yang tidak sesuai dengan kemampuan buah hatinya dalam periode tumbuh kembang," katanya.
Menurut Mira, orang tua seharusnya lebih peka dengan periode emas proses perkembangan anaknya. Apabila anaknya tidak menunjukkan perkembangan dalam proses belajarnya, bisa jadi dia memang belum siap dengan apa yang diajarkan.
"Seorang anak biasanya akan antusias dengan sendirinya apabila dia merasa siap untuk mempelajari hal baru. Sebaliknya, orang tua pun harus tetap memperhatikan kapasitas dan energi yang dimiliki oleh anaknya. Jangan terlalu memaksakan," ujar Mira.