TEMPO.CO, Jakarta - Kesadaran perempuan akan bahaya kanker ovarium main meningkat, sayangnya belum ada tes skrining rutin untuk mendeteksi dini penyakit ginekologi paling mematikan itu. Itulah sebabnya, penting mewaspadai setiap perubahan pada organ reproduksi.
Dilansir dari eatthis.com, kanker ovarium adalah istilah umum untuk sebagian besar kanker yang terkait dengan ovarium, baik di tuba maupun arela lain di sekitarnya. Rata-rata, wanita memiliki kemungkinan 1,3 persen terkena kanker ovarium. Menurut National Cancer Institute Amerika Serikat, terdapat 22.500 kasus per tahun.
Tidak ada penyebab yang jelas kanker ovarium, namun wanita yang membawa gen BRCA1 dan BRCA2 yang langka memiliki risiko 30 hingga 40 persen lebih tinggi terkena kanker ovarium atau payudara. Aktris Angelina Jolie, yang ibunya meninggal karena kanker payudara pada 2007, menjalani mastektomi serta pengangkatan ovarium dan saluran tuba pada 2013 setelah mengetahui bahwa ia memiliki gen BCRA1.
Faktor lain yang membuat wanita berisiko lebih tinggi terkena penyakit ini antara lain menopause terlambat, endometriosis dan infertilitas, selain faktor lingkungan dan gaya hidup seperti obesitas.
Sayangnya, gejala kanker ovarium sangat samar dan seringkali tidak terdeteksi. Gejalanya awalnya bisa tampak biasa, seperti merasa cepat kenyang, kembung terus-menerus yang tidak kunjung hilang, perubahan halus pada saluran pencernaan, rasa penuh dan nyeri panggul, pendarahan tidak teratur dan aneh. Itulah yang membuat deteksi kanker sulit.
Sangat jarang tapi bisa terjadi, kanker ovarium diawali dari kista yang tak kunjung hilang bahkan membesar. Ketika kista tumbuh sangat besar mulai menekan organ lain di perut atau jika kanker ovarium telah menyebar ke organ jauh, maka gejalanya akan terasa lebih berat.
Gejala lain yang bisa muncul antara lain kehilangan selera makan, sering buang air kecil, sembelit, diare, nyeri saat berhubungan seksual, serta mual dan muntah.
Tidak ada pencegahan atau pengujian yang jelas terhadap kanker ovarium, namun para peneliti menemukan bahwa pil KB disebut dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah terkena penyakit ini. Selain itu, ligasi tuba (mengikat tuba) atau melepaskan tuba falopi juga dikaitkan dengan pengurangan risiko terkena kanker ovarium.
"Kami tidak merekomendasikan biopsi kista ovarium," kata Ashley F. Haggerty, asisten profesor kebidanan dan ginekologi di Rumah Sakit University of Pennsylvania, Amerika Serikat. "Wanita dengan diagnosis kanker ovarium harus melakukan tes genetik karena ini adalah informasi penting bagi mereka dan keluarga, juga memberikan pilihan pengobatan tambahan untuk pasien tersebut."
Wanita memiliki risiko genetik kanker ovarium dianjurkan untuk mengangkat saluran tuba dan ovarium setelah tak lagi ingin memiliki anak, menurut Haggerty, atau pada usia 35 hingga 45 tahun tergantung pada mutasi.
"Jika tidak memiliki risiko genetik tinggi, maka tidak ada tes rutin yang dilakukan untuk skrining kanker ovarium," kata Haggerty. Kalaupun dokter menemukan kista pada pemeriksaan, dokter mungkin akan menyarankan pencitraan ginekologi yang lebih spesifik untuk menilai apakah kista terlihat normal atau lebih mengkhawatirkan.
Deteksi dini k anker ovarium bisa dilakukan dengan menelusuri riwayat keluarga dan memperhatikan gejala tetap yang muncul. “Menurut saya, jika memiliki riwayat keluarga dengan kanker payudara atau kanker lainnya, ada baiknya berkonsultasi dengan dokter."
Baca juga: 6 Faktor yang Bikin Wanita Berisiko Tinggi Terkena Kanker Ovarium