TEMPO.CO, Jakarta - Pengertian patriarki menurut Alfian Rokhmansyah pada bukunya yang bertajuk Pengantar Gender dan Feminisme, bahwa patriarki berasal dari kata patriarkat, artinya struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sehingga sistem patriarki mendominasi kebudayaan pada masyarakat. Akibatnya kesenjangan dan ketidakadilan gender mempengaruhi berbagai aspek kegiatan keseharian masyarakat.
Dalam masyarakat, laki-laki punya peran sebagai kontrol utama, sementara peran perempuan dibatasi pengaruhnya, baik aspek ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, bahkan termasuk di dalamnya institusi pernikahan. Posisi perempuan diletakkan pada subordinat atau inferior. Pembatasan tersebut jadi belenggu dan mengentalkan perlakuan diskriminasi.
Dilansir dari jurnal ilmiah berjudul Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia yang ditulis Ade Irma Sakina dan Dessy Hasanah, mereka menulis bahwa budaya patriarki cenderung membuka keleluasaan bagi laki-laki untuk berlaku semena-mena terhadap perempuan.
Ujung tombak permasalahan inilah yang menyebabkan tingginya angka pelecehan seksual di Indonesia. Budaya ini pula menguatkan konstruksi serta pola pikir bahwa laki-laki berkaitan erat dengan ego maskulinitas. Sebaliknya femininitas sendiri diabaikan bahkan dianggap sesuatu yang lemah.
Baca: Ormas Perempuan Nilai RUU Ketahanan Keluarga Gaungkan Patriarki
Soal kritis hukum Indonesia mengenai perempuan pun jadi masalah. Mengulik dari buku berjudul Perempuan dan Hukum yang ditulis oleh Irianto, Ia terangkan bahwa stagnansi sistem hukum Indonesia sama sekali tidak berpihak pada kepentingan dan perlindungan hak kemanusiaan perempuan. Misalnya saja implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) masih belum sesuai dengan filosofi yang mendasari lahirnya regulasi tersebut.
Hingga kini pun praktik budaya patriarki masih lekat di kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini tampak pada aktivitas domestik, ekonomi, politik, hingga budaya. Akibatnya menimbulkan permasalahan sosial di Indonesia. Mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, angka pernikahan dini, dan stigma mengenai perceraian.
Patriarki diperparah dengan pihak korban justru jadi objek masalah timbulnya kejadian. Hal ini disebut victimblaming. Pada kasus pelecehan seksual misalnya, cara berpakaian perempuan disorot jadi pemicu masalahnya. Justru tingkah laku, waktu kejadian pelecehan, maupun justifikasi kejadian tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku. Ketetapan keliru bahwa laki-laki melakukan pelecehan seksual karena punya libido atau syahwat yang tinggi saat melihat cara berpakaian perempuan dijadikan hal yang normal.
RAUDATUL ADAWIYAH NASUTION