TEMPO.CO, Jakarta - Ahli Gizi dari Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Sandra Fikawati mengatakan masih banyak orang yang abai dengan kondisi anemia dan kurangnya asupan energi pada ibu hamil atau menyusui. Kondisi buruk itu bisa menjadi salah satu faktor anak yang dilahirkannya mengalami stunting.
Sandra mengatakan kurang lebih 70-80 persen ibu hamil yang tinggal di desa dan kota belum tercukupi konsusmi energi dan proteinnya. "Mereka berasal dari masyarakat miskin dan kaya," kata Sandara dalam konferensi pers virtual JAPFA bertajuk Kolaborasi untuk Generasi Unggul Indonesia pada 22 Desember 2020.
Baca Juga:
Sandra mengatakan dampak kurang energi kronis pada ibu bisa berakibat pada jumlah ASI yang diproduksi ibu. Menurut Sandra, pada masa kehamilan, berat badan ibu bertambah oleh adanya komponen bayi, plasenta, cairan amnion, uterus, jaringan payudara, volume darah dan cadangan lemak ibu. "Cadangan lemak ini lah yang merupakan modal untuk memproduksi ASI," katanya.
Masalahnya, ibu hamil yang berstatus gizi kurang memiliki cadangan lemak yang kurang. Bila asupan ibu semakin menurun, maka hal itu berakibat pada status gizinya dan keberhasilan ASI ekslusif. "Makanya ibu harus makan cukup," kata Sandra.
Ilustrasi ibu hamil berdiri di antara pepohonan. unsplash.com/Ryan Franco
Jumlah asupan ibu menyusui pun terus berkurang setelah dia melahirkan. Rekomendasi dari Kementerian Kesehatan, konsumsi energi saat laktasi harus lebih besar yaitu 2.580 kalori per hari, dibanding dengan konsumsi energi saat hamil yaitu hanya 2.550 kalori per hari. Faktanya, rata-rata konsumsi ibu hamil di Indonesia antara 2.157 hingga 2.300 kalori per hari. Ketika sedang laktasi, jumlah asupannya terus menurun jadi dari 1.428 hingga 2.143 kalori per hari.
Menurut Sandra, ada beberapa alasan asupan energi yang dikonsumsi para ibu ini sangat kecil. Seperti kurangnya pengetahuan dan sikap tentang kebutuhan gizi laktasi. Ada pula masalah kesibukan ibu mengurus bayi. Faktor ain adalah berkurangnya konsumsi susu dan suplemen, serta adanya pantangan makan bagi ibu laktasi. Terakhir adalah faktor kurangnya informasi dari tenaga kesehatan mengenai jumlah kebutuhan gizi ibu laktasi. Peran tenaga kesehatan memberikan informasi kepada para ibu pun dinilai belum optimal. "Selama enam bulan pemberian ASI eklusif pun terlihat asupan yang dikonsumsi para ibu terus menurun setiap bulannya. Bulan pertama sebanyak 2.100an kalori per hari dan bulan keenam menjadi hanya 1.911 kalori per hari," kata Sandra.
Sandra menjelaskan bahwa ketika usia bayi 4 bulan, ASI tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan zat besi bayi. Selanjutnya kebutuhan zat besi itu diambil dari tubuh bayi dalam kandungan.
Bila para bayi itu lahir dari ibu yang anemia atau kekurangan energi, maka kebutuhan gizinya nanti bisa tidak terpenuhi. Sehingga penting sekali mengutamakan asupan energi ibu hamil dan menyusui agar terhindar dari anemia dan kondisi energi kronis untuk mencegah stunting. "Apalagi di masa pandemi 6 bulan ASI ekslusif untuk bayi," kata Sandra.
Pencegahan stunting atau gagal tumbuh penting dimulai pada seribu hari pertama kehidupan bayi. Hal itu terhitung sejak bayi ada di dalam kandungan, hingga bayi berusia 2 tahun. Selama fase itu, asupan bayi sangat berpengaruh untuk perkembangan tubuh, terutama otaknya. Sehingga penting agar masyarakat fokus dalam masa krusial itu.
Kasubdit Komunikasi Informasi dan Edukasi Kesehatan Kementerian Kesehatan Marlina Ginting Br. Manik menjelaskan, saat ini pemerintah tengah berupaya meningkatkan kesehatan masyarakat dengan melakukan sosialisasi dan edukasi di berbagai daerah untuk memerangi angka stunting. Kolaborasi dengan pihak swasta, salah satunya JAPFA sangatlah membantu pemerintah untuk menjangkau lebih banyak lagi masyarakat di Indonesia.
JAPFA ikut mengedukasi dan menciptakan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat dalam mendampingi Posyandu Sehat dan Berdaya di 5 Posyandu di 5 Desa Lokus, serta pendampingan Komunitas Ibu Cerdas Cegah Stunting di Desa Pariwang. Komunitas Ibu Cerdas Cegah Stunting bertujuan untuk menurunkan angka prevelansi stunting di wilayah tersebut melalui edukasi dan pemberdayaan para ibu mengenai gizi.
Tahun ini, meskipun di tengah kondisi pandemi COVID-19, JAPFA terus mendorong kualitas kesehatan masyarakat khususnya anak-anak usia sekolah melalui berbagai program edukasi yang dilakukan secara daring. "Kami akan terus bersinergi dengan berbagai pihak untuk ciptakan kolaborasi bersama dalam membangun kemajuan generasi penerus Indonesia yang unggul”, kata Head of Social Investment JAPFA Retno Artsanti.