TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa hari ini publik dikagetkan dengan peristiwa seorang anak yang mengalami kekerasan oleh orangtuanya sendiri ketika mengalami kesulitan pembelajaran jarak jauh atau PJJ secara daring. Pandemi COVID-19 ini memberi dampak dalam kehidupan kita secara simultan terhadap segala aspek kehidupan.
Banyak rutinitas yang terganggu dan kehidupan bisnis pun terbelenggu. Ketidakpastian tentang kapan berakhirnya pandemi ini, juga membuat banyak orang yang merasa frustrasi dan stres. Terlebih peran orang tua yang semakin bertambah, karena harus membimbing anaknya dalam PJJ online di rumah. Ikut mengajarkan materi pelajaran, membantu mengerjakan tugas, dan bahkan harus pula membuat video sebagai laporan pembelajaran.
Baca Juga:
Menurut Psikolog Anisa Cahya Ningrum tidak semua orang tua memiliki keterampilan yang memadai dalam menjalankan peran ini. Jika anak-anak tidak kooperatif atau kesulitan memahami materi belajar, maka bukan mustahil akan memicu emosi orang tuanya.
"Bagi orang tua yang tidak memiliki regulasi emosi yang baik, maka potensi melakukan kekerasan terhadap anak akan mungkin terjadi. Kekerasan ini bisa berupa verbal, mental dan juga agresivitas secara fisik," ucapnya kepada Tempo.co, Rabu, 16 September 2020.
Menurut Anisa, perlu pemeriksaan yang seksama untuk memastikan apakah orang tua ini memang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak. Namun yang bisa diperkirakan ada kemungkinan perilaku kekerasan sudah menjadi kebiasaan dalam keluarganya,
Kesulitan anak dalam belajar, mungkin hanya menjadi salah satu pemicunya.
"Kita perlu menelusuri lebih jauh, hal-hal apa lagi yang menjadi penyebab kemarahan orang tua pada saat itu. Sepertinya ada banyak hal yang perlu diselesaikan dalam dinamika psikologis orang tua yang melakukan tindakan ini. Bisa jadi, pembunuhan bukanlah tujuan utamanya," ujarnya.
Menurutnya, kemungkinan orang tua ingin memberikan hukuman karena anak tidak menunjukkan hasil optimal dalam belajar. Namun cara agresif yang dilakukan, tentu tidak tepat. "Masih banyak orang tua yang belum memahami cara berinteraksi yang sehat dengan anak-anaknya. Pemaksaan kehendak seringkali terjadi, dan regulasi emosi belum terlatih," papar Anisa.
Kondisi pandemi ini memang memaksa semua orang untuk beradaptasi dengan cepat, termasuk para orang tua. Mereka dituntut untuk menjadi fleksibel, adaptif dan antisipatif. Ada beberapa tips yang dapat dilakukan para orang tua untuk beradaptasi dengan kondisi ini.
1. Bersikap terus terang
Orang tua memang akan merasa berat jika harus memahami semua materi pembelajaran anak-anaknya. Tidak perlu merasa terbebani, dan lakukan semampunya. "Bersikaplah jujur pada anak, jika ada materi yang tidak kita kuasai. Ajak anak mencari jawaban yang lebih baik dengan cara bertanya kepada yang lebih ahli (saudara, teman), atau kita ajarkan juga untuk searching di dunia maya," saran Anisa
2. Menurunkan target
Tidak perlu menargetkan hasil belajar yang terlalu tinggi. Beri kesempatan anak untuk mengeksplorasi sesuai kemampuannya. Dalam kondisi seperti ini, kenyamanan psikologis anak menjadi lebih penting dibandingkan dengan tekanan target prestasi.
3. Belajar life skill
Ambillah kesempatan ini untuk mengajarkan anak tentang life skill, yang mungkin hal ini tidak bisa dilakukan ketika anak lebih banyak berada di sekolah. Misalnya setelah mengerjakan tugas dari guru di sekolah, ajari anak tentang pekerjaan-pekerjaan domestik, dengan cara yang menyenangkan. "Ajak memasak bersama, mengecat/melukis dinding kamar, berdikusi tentang cara menenangkan adik yang menangis, atau hal-hal kreatif lainnya," ucapnya.
4. Jangan lupa kebutuhan emosional
Sadari bahwa selain membutuhkan pembelajaran akademis, anak juga memiliki kebutuhan emosional yang hangat dari orang tuanya. Berikan dukungan dalam setiap pencapaian yang dia lakukan, dan tetaplah memberikan pelukan meski ia belum berhasil meraih target yang diharapkan.