TEMPO.CO, Jakarta - Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli bisa dijadikan momen refleksi dalam pengasuhan anak. Terlebih di masa pandemi Covid-19, anak-anak mengalami tantangan beradaptasi dengan sistem belajar online.
Banyak anak yang sulit beradaptasi sehingga menimbulkan perasaan tertekan. Para ahli mengatakan, salah satu cara untuk mengatasi masalah itu pada anak adalah bermain. Tak hanya memperkaya wawasan tentang solusi masalah, bermain juga meningkatkan rasa keberhasilan, mengasah koordinasi motorik, dan mengasah kemampuan sosial.
Michele Capurso dalam sebuah penelitian pada 2016, mengatakan, bermain dapat meningkatkan kemampuan untuk coping atau menghadapi dan mengatasi tantangan atau masalah dengan baik dan tenang.
Coping dilakukan dengan mengenali apa masalah yang sedang dihadapi dengan mengurangi stres terlebih dahulu, misalnya mengalihkan perhatian sejenak dengan bersantai atau melakukan pekerjaan lain, salah satunya dengan bermain.
Psikolog Anna Surti Ariani mengatakan, tantangan yang akan dihadapi anak-anak di masa depan tidak sama dengan yang kita hadapi sekarang. Mereka perlu dibekali bukan saja dari segi akademis, tapi juga dari segi kreativitas, karakter dan kemampuan bersosialisasi yang bisa didapat dari bermain.
Menurut Anna yang juga Ketua Ikatan Psikologi Klinis Jakarta ini terdapat
tiga konsep penting seputar dunia bermain anak. ‘Mainan’ yaitu alat yang digunakan, bisa merupakan hasil karya anak. Lalu, ‘permainan’ yaitu aktivitas yang diciptakan, bisa membutuhkan mainan ataupun tanpa mainan. Dan, ‘bermain’ yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh kesenangan dan memberikan banyak
manfaat bagi anak.
"Yang betul-betul memberikan manfaat buat anak bukanlah mainan atau permainan, namun proses bermain yang dilakukan anak. Orang tua bisa membantu anak untuk menciptakan mainan, mengusulkan permainan yang akan dilakukan, dan bermain bersama anak. Dengan demikian, anak bisa mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya,” kata Anna.
Di masa anak belajar dari rumah, masalah yang dialami tidak sedikit. Mulai dari anak-anak harus menahan keinginan belajar langsung di sekolah, sampai ke masalah yang sifatnya teknis seperti penggunaan kuota membengkak, rebutan tools, hingga ruangan yang sinyalnya susah.
Awalnya, lanjut Anna memang banyak yang mengira bahwa anak di rumah lebih sering bermain namun kenyataannya proses belajar mengajar tetap berjalan termasuk harus mengerjakan PR. Hal itu terkadang membuat orang tua berpikir bahwa bermain hanyalah kegiatan yang buang-buang waktu sehingga lebih baik waktu dipakai untuk kegiatan yang dianggap lebih bermanfaat.
"Padahal bermain banyak sekali manfaatnya yang tidak diajarkan di sekolah. Misalnya dengan bermain, anak-anak bisa menambah wawasan, mendapatkan ide menyelesaikan masalah, dan meningkatkan rasa kepercayaan pada diri sendiri," ucapnya.
Di luar itu, manfaat bermain masih banyak yakni mengasah motorik baik kasar juga motorik halus. Misalnya sepakbola menggunakan motorik kasar, lalu main manik-manik itu mengasah motorik halus. Bermain sama teman mengasah kemampuan sosialnya. Ketika anak bermain itu adalah coping anak dalam mengatasi masalah.
Anna juga menggarisbawahi bahwa bermain tidak selalu harus mahal, tapi bisa memanfaatkan benda-benda di dalam rumah bahkan alat rumah tangga. Mainan juga bisa dibikin sendiri dengan harga lebih murah, dari barang bekas yang bisa di-reuse dan proses membuat mainan adalah proses bermain juga. Sementara itu untuk permainan bisa story telling atau bermain peran dengan orang tua.
"Proses bermain bisa memberikan manfaat besar karena anak juga terlibat. Orang tua memberikan kesempatan anak punya waktu bermain, tidak perlu terus-terusan tapi bisa sekali-kali terlibat dalam proses bermain. Dan satu lagi melalui proses bermain bisa meningkatkan ikatan atau bonding antara orang tua dan anak," ujar Anna.