TEMPO.CO, Jakarta - Indonesian Fashion Chamber atau IFC, asosiasi non profit yang terdiri dari 250 anggota di 12 wilayah di Indonesia, mengalami dampak yang sangat drastis akibat pandemi Covid-19. Namun, di balik situasi ini, mereka melihat peluang yang muncul, dari mulai permintaan pasar yang relevan dengan pandemi juga cerita cerita menarik, bagaimana desainer lokal ini mampu bertahan, bahkan justru mendapatkan hal positif di saat krisis ini.
Salah satunya dialami desainer Hannie Hananto. "Ketika wabah corona ini pertama kali diumumkan oleh pemerintah cukup kaget namun tidak lama langsung mengambil tindakan awal lebih dulu," ucap Hannie dalam konferensi pers online Indonesian Fashion Chamber, Senin 22 Juni 2020.
Langkah pertama yang diambil Hannie Hananto adalah menyiapkan infrastruktur penjahit di Sumedang, Jawa Barat, karena ia memprediksikan kasus ini kemungkinan lama dan mengubah semua sistem. Sistem yang diterapkan adalah bahan baku dan gambar dikirim ke Sumedang, lalu setelah selesai dijahit dikirim lagi ke Jakarta.
Selain mengubah sistem pekerjaan, Hannie pun harus merelakan fashion show dan bazaar di Makssar ditunda meski sudah menyiapkan koleksi yang cukup banyak. Koleksi tersebut pun dijual di media sosial Instagram dan Tik Tok. Tak hanya itu, dia juga merilis koleki masker kain yang sesuai dengan gaya desain mereknya.
Efek pandemi juga dirasakan Riri Rengganis, omset usahanya menurun hingga 80 persen. Karena mal ditutup, ia kemudian mempromosikan koleksinya melalui Whatsapp. "Tapi apa yang terjadi, mereka “curhat” balik karena kondisi mereka pun sedang tidak memungkinkan untuk berbelanja. Maka dari situ saya segera hentikan broadcast ke pelanggan, karena takut terkesan “tidak sensitif” terhadap situasi mereka,"ucap Riri.
Riri Rengganis lalu mengubah fokus usahanya dengan menjual tekstil tradisional Indonesia tetapi juga menawarkan jasa jahit dengan konsep tanpa potong. Selain itu, dia merilis koleksi masker dengan desain yang bisa dipadankan dengan koleksi lama supaya bisa ditawarkan ke semua pelanggan loyal.
Cerita lain datang dari desainer IFC asal Aceh Khairul Fajri. Menurutnya jika sektor bisnis fashion khususnya yang memproduksi sendiri produknya atau minimal memiliki mesin jahit merupakan sektor bisnis yang paling mampu untuk bertahan. Ini karena masih bisa memproduksi produk- produk yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan team medis seperti masker dan APD.
Di Aceh, tidak semua rumah produksi memiliki mesin jahit sekaligus perlengkapan printing kain. Workshop Ija Kroeng miliknya, yang memiliki mesin jahit dan peralatan manual printing mengambil kesempatan ini untuk memproduksi masker berlogo.
"Pada saat itu permintaan masker sangat tinggi sehingga kami batasi per orang bisa membeli 10 pcs. Selain menjual langsung masker berlogo di media sosial dan di workshop, strategi marketing lainya ialah dengan memproduksi sample masker berlogo instansi," ucap Khairul.
Baca juga: Tren Fashion Normal Baru: Rok Crinoline hingga Topi Jaga Jarak
Secara tidak langsung momen ini sangat membantu untuk menyebarkan informasi tentang merek kepada konsumen baru yang selama ini tidak bisa dijangkau, menjaga eksistensi dan menguatkan posisi merek di mata konsumen. Di era new normal ini, Khairul mengungkapkan peluang dan inovasi untuk mereknya, salah satunya membuat masker kain untuk souvenir pernikahan.
"Kami melihat ada peluang dan segera berinovasi lagi memproduksi masker kain bertuliskan nama pasangan pengantin sebagai souvenir, kemudian masker ini akan dibagikan kepada seluruh orang yang akan datang ke acara pernikahan tersebut," pungkasnya.