TEMPO.CO, Jakarta - Badan Kesehatan Dunia atau WHO beberapa waktu lalu mengeluarkan rilis yang merekomendasikan penggunaan obat Dexamethasone untuk penanganan Covid-19. Obat ini dinilai efektif dan bermanfaat pada kasus berat Covid-19. Tidak lama setelah rilis tersebut keluar, banyak yang mencari obat ini.
Kendati telah direkomendasikan oleh WHO, faktanya obat tersebut bukan penangkal Covid-19. Itu hanya merupakan kombinasi obat-obatan.
"Obat ini tidak memiliki khasiat pencegahan. Ini bukan penangkal Covid-19, ini bukan vaksin," ujar Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Dokter Reisa Broto Asmoro melalui siaran pers, Jumat, 19 Juni 2020.
Menurut Reisa, Dexamethasone merupakan obat golongan kortikosteroid. Dexamethasone bekerja dengan cara mengurangi peradangan dan menurunkan sistem kekebalan tubuh, sama seperti steroid yang dihasilkan oleh tubuh secara alami.
Dexamethasone yang telah digunakan untuk jangka panjang, tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Dokterlah akan menurunkan dosis secara bertahap, sebelum menghentikan obat ini.
"Penderita yang telah mengkonsumsi untuk jangka panjang, tidak boleh menghentikan konsumsi obat secara tiba-tiba, tanpa sepengetahuan dokter. Penggunaan untuk jangka panjang juga ada efek sampingnya," kata Reisa.
Dia juga menambahkan, meski harganya terjangkau, penggunaan Dexamethasone wajib melalui konsultasi dokter, agar tidak menimbulkan efek samping dari obat tersebut.
"Selalu konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter sebelum menggunakan obat ini, agar tidak terjadi efek samping. Terutama, bila memiliki alergi pada makanan, obat, maupun bahan lain yang terkandung di dalamnya," jelas Reisa.
Lebih lanjut, Reisa juga menjelaskan bahwa obat tersebut tidak boleh sembarangan diberikan kepada siapa saja dan harus melihat faktor usia. "Karena dosis dan lama penggunaan Dexamethasone diberikan berdasarkan usia, kondisi, dan reaksi pasien tersebut terhadap obat," jelasnya.
Terkait dengan rekomendasi WHO, obat Dexamethasone lebih dianjurkan untuk pasien yang terkonfirmasi dengan sakit berat, kritis, membutuhkan ventilator dan bantuan pernafasan.
Adapun rekomendasi tersebut juga mengingat bahwa obat tersebut dapat mengurangi risiko kematian hingga 20-30 persen. "Obat ini dianjurkan karena akan mengurangi jumlah kematian sebesar 20 sampai 30 persen dari kasus-kasus tersebut," kata Dokter Reisa.
Kemudian, hal yang juga harus dipahami bahwa obat tersebut tidak memiliki dampak atau bukan terapi untuk kasus-kasus konfirmasi yang sakit ringan, atau tanpa gejala.
Selanjutnya, seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa, pemakaian obat-obat steroid untuk COVID-19 hanya dibolehkan dalam pengawasan ahli, para dokter, dan dilakukan di sarana dengan fasilitas yang memadai, tentunya yang siap untuk menangani efek samping yang dapat terjadi.
Reisa juga mengatakan bahwa Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau BPOM akan memantau peredaran Dexamethasone. "Meski kita telah mendengar beberapa berita baik kemajuan dunia kesehatan, baik dalam negeri, maupun dari luar negeri di internasional, WHO sampai saat ini belum menentukan obat atau regimen data kombinasi pengobatan yang tetap untuk perawatan pasien COVID-19," kata Reisa.
WHO dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tetap menganjurkan agar masyarakat dapat mengikuti selalu petunjuk dari dokter. "Tidak boleh mengobati diri sendiri, hindari penggunaan antibiotik dengan tidak tepat juga, karena dapat menyebabkan resistensi terhadap jenis antibiotik yang dikonsumsi tersebut, dan sekali lagi, belum ada pengobatan COVID-19 sampai saat ini yang dapat mencegah," kata Reisa.
Hingga saat ini, cara terbaik untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 adalah dengan menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, memakai masker, cuci tangan dengan sabun dan air sesering mungkin dengan minimal 20 detik. "Semuanya itu tentunya akan lebih baik, karena mencegah lebih mudah, lebih baik, dan lebih murah, daripada mengobati," pungkas Reisa.