TEMPO.CO, Jakarta - Dampak negatif isolasi fisik terhadap pembelajaran anak-anak di rumah sedikit banyak berpengaruh pada kesehatan mental mereka. Para guru dan profesional kesehatan melaporkan bahwa ketegangan isolasi fisik mulai terlihat pada banyak anak dan remaja.
Setiap kecemasan dan ketakutan yang mereka alami diperkuat oleh isolasi dari teman-teman, kurangnya akses ke kegiatan olahraga dan rekreasi mereka yang biasa dan kurangnya kepastian tentang masa depan. Dalam masa-masa sulit ini kesehatan mental anak-anak perlu menjadi prioritas tinggi.
Psikolog anak Saskhya Aulia Prima mengatakan selama tiga bulan di rumah saja dengan proses adaptasi, termasuk anak-anak yang beraktivitas baik belajar, ekstra kurikuler, dan main di rumah. Tentunya penerimaan masing-masing anak berbeda di masa sekarang ini sehingag dibutuhkan strategi baru untuk memberi pemahaman pada kondisi baru yang disebut sebagai new normal tersebut
"Sementara kondisi keluarga masing-masing juga kan berbeda, tekanan ke orang tua juga merasa berat sangat berpengaruh pada kondisi anak-anak. Merindukan pun merindukan kegiatan mereka sehari-hari sebelum pandemi, metode virtual belum bisa menggantikan sepenuhnya bagi mereka," ucap Psikolog Tiga Generasi ini dalam Live Instagram, Rabu 17 Juni 2020.
Menurut Saskhya, kalau anak-anak usia 5 tahun ke bawah belum sepeuhnya mengerti kondisi seperti ini kenapa harus di rumah terus. Ketakutan yang tidak bisa mereka akses, hanya dengar-dengar sekilas kalau ada virus yang menyerang tapi tidak tahu seberapa jauh efeknya. "Belum lagi ditambah melihat orang tua di rumah juga cenderung mudah marah menambah anak jadi bingung dan ikutan mudah tersinggung" imbuhnya.
Oleh sebab itu orang tua disarankan juga mesti beradaptasi karena kondisi ini berpengaruh pada banyak hal termasuk persoalan ekonomi yang tidak mudah, ditambah anak-anak yang makin lama makin bosan di rumah. "Ada momen bukan salah anaknya, orang tua yang lagi stres suka kelepasan bilang yang menyinggung," ucapan.
Saskhya juga menyarankan jika orang tua perlu self care yang dimaknai bukan
sebatas me time, namun secara holistik kembali ke persepsi management. Kadang masalahnya tidak besar tapi kita yang suka membesar-besarkan masalah, misalnya. Dalam hal ini manajemen persepsi perlu ditanamkan pada mindset orang tua jika "pekerjaan rumah" masih panjang dan belum bisa melepaskan anak-anak ke luar rumah. "Sebab rasanya belum rileks banget tapi beberapa akses keramaian sudah mulai buka, ini sebenarnya jadi tantangan lagi," tambahnya.
Bagi anak berusia 5 tahun ke bawah orang tua bisa dengan cara bercerita yang dekat pada keseharian anak. "Kita sedang berperang pada binatang/monster yang besar tapi tidak terlihat datang ke orang-orang yang suka bersama. Sebenarnya yang boleh ke sana orang-orang tertentu saja, anak-anak dan orang tua tidak dibolehkan," ucapnya.
Jadi penting membangun komunikasi sama anak tidak sekadar bilang kalau tidak boleh. Hal tersebut dilakukan untuk bantu mereduksi kecemasan dan rasa bosan. Sementara itu, kalau anak yang lebih besar, sebenarnya mereka sudah masuk masa rebel. Jika berbicara dengan anak remaja dengan jalan diskusi secara rasional dengan mengatakan informasi dan hasil studi yang lebih lengkap.
Baca juga: Aktivitas Seru Bersama Anak di Rumah saat Pandemi Corona, Masak Hingga Nonton Film
"Salah satu cara komunikasi lebih efektif yang diingatkan bukan hanya diri sendiri, tetapi tanggung jawab ke orang lain, kebaikan untuk orang lain. Jadi bawa logika mereka ke sana jika mereka juga care dengan orang lain," saran dia.
Namun, di luar semua itu sedari awal penting untuk mengelola kecemasan Anda sendiri. Jika Anda merasa cemas, luangkan waktu untuk mengatur ketakutan Anda dan tarik napas sejenak sebelum memulai percakapan atau menjawab pertanyaan anak Anda.