TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian ibu hamil mengalami komplikasi saat melahirkan, termasuk retensio plasenta. Komplikasi ini adalah adalah tertinggalnya seluruh atau sebagian plasenta di dalam rahim setelah bayi dilahirkan. Biasanya plasenta atau yang dikenal ari-ari akan keluar dari rahim secara alami dalam waktu 30 menit setelah melahirkan.
Retensio plasenta dapat menyebabkan pendarahan berlebih, infeksi, bahkan mengancam jiwa ibu sehingga tak boleh diabaikan. Komplikasi ini termasuk langka terjadi yang hanya memengaruhi sekitar 2-3% persalinan yang terjadi. Penyebabnya adalah placenta adherens, saat rahim berhenti berkontraksi atau tak cukup berkontraksi untuk mengeluarkan plasenta. Akibatnya, plasenta pun tetap melekat dengan longgar pada dinding rahim. Ini menjadi retensio plasenta yang paling umum terjadi.
Penyebab lainnya plasenta keluar dari rahim, namun terperangkap di belakang leher rahim atau trapped placenta. Ini umumnya terjadi karena serviks mulai menutup sebelum plasenta dikeluarkan sehingga terjebak di belakangnya. Terakhir penyebab placenta retensio adalah karena plasenta akreta, plasenta yang tumbuh terlalu dalam di dinding rahim, umumnya karena kelainan pada lapisan rahim. Hal ini membuatnya lebih sulit dikeluarkan, bahkan bisa menyebabkan pendarahan hebat.
Ketika plasenta atau ari-ari tetap berada di dalam tubuh, wanita akan menunjukkan gejala sehari setelah melahirkan. Gejala retensio plasenta yang mungkin terjadi, antara lain demam, keluarnya cairan berbau busuk dari vagina yang mengandung banyak jaringan, pendarahan hebat yang terus berlanjut, serta kram dan nyeri perut parah
Retensio plasenta terjadi setelah melahirkan bayi, maka tak akan ada dampak pada si Kecil. Akan tetapi, kondisi ini sangat berisiko bagi ibu. Jika plasenta tak juga dikeluarkan, pembuluh darah tempat melekatnya organ tersebut akan terus mengalami pendarahan. Rahim juga tak akan bisa menutup dengan benar, sehingga menimbulkan risiko kehilangan darah yang parah, bahkan mungkin disertai infeksi. Dalam banyak kasus, pendarahan yang berlebih bisa mengancam jiwa.
Cara mengatasi retensio plasenta?
Cara mengatasi retensio plasenta tentu saja dengan mengeluarkan seluruh atau sebagian plasenta yang masih tertinggal di rahim. Berikut ini beberapa caranya.
- Dokter akan mengeluarkan plasenta secara manual dengan memasukkan tangan ke dalam rahim. Akan tetapi, metode ini dapat meningkatkan risiko infeksi.
- Dokter juga dapat memberi obat-obatan untuk mengendurkan rahim atau membuatnya berkontraksi sehingga memudahkan tubuh untuk mengeluarkan plasenta. Namun, obat-obatan ini bisa berpengaruh terhadap produksi ASI.
- Dalam beberapa kasus, menyusui juga bisa membantu mengeluarkan plasenta secara efektif. Sebab menyusui dapat merangsang tubuh melepaskan hormon yang mendorong rahim berkontraksi.
- Dokter mungkin akan menyarankan Anda untuk buang air kecil sebab kandung kemih yang penuh terkadang bisa mencegah keluarnya plasenta.
- Prosedur ini merupakan pilihan terakhir karena berisiko menyebabkan komplikasi. Melalui operasi, dokter akan mengangkat seluruh atau sebagian plasenta yang masih tertinggal.