TEMPO.CO, Jakarta - Media sosial kini sering menjadi arena konflik keluarga berbalut drama. Tidak hanya satu keluarga, namun bisa dua keluarga besar. Persoalan rumah tangga yang sedianya menjadi bahasan internal, di masa kini justru bisa diakses oleh hampir semua pengguna Internet.
Hal tersebut juga disampaikan oleh psikolog klinis Mufliha Fahmi atau yang karib disapa Lya. Menurutnya zaman dulu ada nilai sosial bahwa aib keluarga tidak untuk dibuka, namun seiring waktu, itu menjadi sesuatu yang malah jadi mudah disampaikan di ranah publik.
Sebelumnya, ketahui dulu yang dimaksud dengan drama karena setiap orang pemahamannya berbeda. "Ada yang menganggap apa pun perselisihan dan ketidaksepahaman dalam rumah tangga baik masalah kecil atau besar disebut drama. Ada pula yang masalah sedikit lantas dibesar-besarkan atau kerap disebut drama queen," papar Lya.
Kadang permasalahan dalam keluarga tampak kecil tapi impact-nya cukup signifikan. Terjadi drama atau tidaknya tergantung bagaimana seseorang merespons pasangannya. Pada prinsipnya ada stimulus yang merespons emosi," ucap Mufliha dalam Live Instagram bertajuk Drama Keluarga Sampai Mana Batasnya, Ahad, 14 Juni 2020.
Lantas adakah batasan khusus konflik keluarga tidak sehat yang bisa diungkap ke publik? Mufliha mengatakan, permasalahan apapun bisa didiskusikan, namun ada 2 yang tidak bisa ditoleransi dan artinya bisa menjadi batas.
Pertama, penelantaran oleh suami yang pergi tanpa kabar dan mengabaikan keluarga, termasuk tidak diberikan nafkah. Nah batasan apa yang disebut penelantaran, kembali lagi ke individu masing-masing.
"Misalnya tidak ada kabar sama sekali bisa dikatakan sebagai batas. Namun jika ada masalah nafkah karena suami tidak bekerja tapi punya kontribusi di bidang lain berarti kan rumah tangga masih jalan," ucap ibu satu anak ini.
Batasan kedua ialah kekerasan dalam bentuk apa pun di rumah, termasuk kekerasan terpola. Kenapa kekerasan dalam rumah tangga tidak disarankan untuk dipertahankan karena itu menjadi siklus yang terus berputar.
"Misalnya hari ini melakukan kekerasan maka selanjutnya bisa mengulang lagi.
Sehingga perlu dipahami bahwa kekerasan bukan aib tapi salah satu cara buat melindungi diri dengan berani melapor dan bicara," lanjut Lya.
Penyelesaian masalah tersebut tidak bisa jika hanya melibatkan keluarga dekat karena ada kecenderungan untuk melindungi atau membela. Beda jika mencari pihak yang tidak memiliki keterikatan emosi atau attachment khusus.
"Kalau butuh bantuan dalam dua masalah tersebut maka dianjurkan meminta ke profesional agar mendapatkan jalan keluar yang sesuai dengan kondisi masing-masing pasangan," kata Lya menyarankan.