TEMPO.CO, Jakarta - Idul Fitri 2020 sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena pandemi virus corona. Jika biasanya mudik atau pulang kampung, tahun ini terpaksa ditiadakan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Silaturahmi dan maaf-memaafkan Lebaran tahun ini dilakukan dengan cara yang berbeda. Anda bisa melakukannya secara online atau kembali ke cara lama, mengirim kartu ucapan.
Lantas, apakah tidak mudik ini bisa mempengaruhi kondisi jiwa atau psikologis seseorang?
Psikiater Dina Anindyati mengatakan, pada setiap periode sebetulnya ada saja orang yang tidak dapat mudik atau tidak memungkinkannya untuk mudik. Namun bedanya tahun ini orang benar-benar tidak dapat mudik bukan karena keinginannya tetapi karena adanya peraturan akibat pandemi guna mencegah penyebaran dan penularan virus corona ke kampung halaman.
Kondisi ini bisa saja mempengaruhi kejiwaan seseorang, apalagi bagi orang-orang yang menggunakan mudik sebagai salah satu kesempatan bertemu dengan keluarga atau orang terdekat.
“Karena situasi ini tidak memungkinkan atau terpaksa tidak mudik, bisa muncul perasaan sedih, kecewa, penyesalan, atau tidak nyaman. Ini wajar dan manusiawi,” ujar Gina seperti dikutip dari siaran pers Guesehat, Sabtu, 23 Mei 2020.
Sebagian orang mungkin bisa saja beradaptasi dan melalui kondisi ini dengan baik karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang adaptif. Namun, ada pula orang-orang tertentu yang memiliki kerentanan sehingga akan merasa lebih kesepian, tidak berdaya, atau frustrasi.
“Kalau kita bicara dalam konteks mudik, masalah yang mungkin timbul ialah kesepian (loneliness). Loneliness ini bukanlah gangguan jiwa. Ini merupakan fenomena yang berisiko dan jika terjadi berkepanjangan serta tidak diatasi, maka akan menimbulkan masalah kejiwaan yang lebih berat, seperti gejala depresi atau kecemasan,” tuturnya.
Kesepian ini menurutnya akan menjadi gangguan jiwa jika ada kondisi lainnya yang mempengaruhi, seperti kondisi fisik yang tidak fit, kesulitan untuk menyelesaikan masalah, dan bisa juga dipengaruhi lingkungan sosial.
“Pengaruh lingkungan sosial ini misalnya ia tidak punya orang-orang yang dapat dipercaya atau tinggal di lingkungan yang tinggi kekerasannya. Ini akan menjadi stresor atau menambah tekanan sehingga risiko mengalami gangguan semakin besar.”
Sementara itu, Psikolog Klinis Alexandra Gabriella mengatakan ketika tidak mudik seseorang bukan hanya merasa kesepian tetapi juga homesick yaitu perasaan rindu dengan situasi saat di kampung halaman.
“Bisa rindu dengan orang tua, orang-orang sekitar, makanannya, lingkungannya, atau nuansanya. Namun, orang-orang yang homesick ini tidak dialami oleh mereka yang tidak mudik saja,” jelasnya.
Menurutnya, homesick bisa menjadi stresor ketika seseorang memiliki ekspektasi untuk bisa pulang dan merasakan apa yang biasa dilakukan di kampung halaman tetapi ekspektasinya tidak tercapai sehingga timbul rasa kecewa yang bisa menyebabkan frustrasi.
“Rasa frustrasi itu bisa membuat seseorang memiliki masalah psikologis, seperti depresi. Apalagi kalau kondisi ini memang sudah terjadi beberapa minggu secara berturut-turut dan mood atau suasana hatinya sama. Selain itu, orang-orang yang homesick ini bisa juga mengalami insomnia karena selalu berpikir tidak bisa pulang,” tuturnya.