TEMPO.CO, Jakarta - Pandemi corona membuat kita terpaksa lebih banyak di rumah untuk mencegah penyebaran virus. Namun, pembatasan aktivitas dan ruang gerak di dalam rumah bisa menimbulkan berbagai keluhan dan gangguan kesehatan mental. Mulai dari anxiety, psikosomatis, hingga cabin fever atau stres berkepanjangan akibat terlalu lama di ruangan. Ditambah lagi saat awal-awal menjalani physical distancing juga muncul tanda seperti tiba-tiba merasa gatal, nyeri, dan sedikit meriang padahal suhu tubuh normal, efek usai membaca berita tentang gejala Covid-19.
Konselor Psikolog di Rifka Annisa Women Crisis Center Indiah W Andari mengatakan jika situasi yang sedang kita jalani saat ini sedang tidak normal yang kemudian menimbulkan reaksi normal misalnya cemas dan takut. "Cemas itu kalau objeknya tidak jelas tapi kita merasa was-was, nah kalau takut kan objeknya jelas ada benda atau bentuknya. Yang menjadi masalah ialah ketika kita tidak bisa kita kelola maka memicu gangguan kesehatan mental," ujarnya dalam Diskusi Live Instagram yang digelar Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA-PPMI) bertema Tips Menjaga Kesehatan Mental di Masa Pandemi, Jumat 15 Mei 2020.
Selain cemas dan takut banyak juga yang mengalami cabin fever. Istilah cabin fever bukan diagnosis gangguan jiwa, tapi lebih pada simpton umum akibat bosan berkepanjangan dan terkurung tidak tahu sampai kapan, kemudian memicu emosi negatif yang mudah kita dikeluarkan. "Tanda lainnya ialah mengalami rasa sedih, gelisah, sensitif, tidak sabaran, dan tidak punya motivasi," ucap Indiah.
Kini setelah 2 bulan berselang, waktunya manusia kembali mulai melakukan adaptasi dengan kondisi normal baru atau new normal yang tentunya akan mengubah beberapa gaya hidup kita. Berikut ini saran Indiah W Andari terkait persiapan dalam menghadapi masa new normal.
1. Reframing
Me-framing ulang peristiwa-peristiwa yang kita alami dan situasi yang sudah terjadi, sebab pikiran kita pada sesuatu akan mempengaruhi perasaan kita. Terdapat dua situasi yang bisa kita kontrol atau tidak bisa kontrol. Misalnya penerapan PSBB di luar kontrol kita, sementara yang bisa kontrol adalah situiasi internal dalam kendali diri kita. "Misalnya kita memilih mau keluar pakai masker atau tidak, mau ikutan panic buying atau tidak," terang Indiah.
2. Pikiran yang adaptif
Selain itu, untuk mempersepsikan keadaan yang sedang dialami akan kembali ke pikiran masing-masing. Respon kita pada situasi itulah yang kemudian mendukung perasaan kita. Namun perlu diketahui pula bukan berarti kita terlalu positif nanti bisa berakibat pada toxic positivy. "Sebenarnya kita sendiri yang bisa mengubah pikiran kita agar lebih adaptif pada kondisi yang tadinya menganggu kita," ucap Indiah.
3. Mencoba produktif
Tolak ukur produktif masing-masing orang berbeda, untuk itu bisa disesuaikan dengan kemampuan diri. Contoh paling sederhana kalau kita melakukan aktivitas fisik efeknya ke diri tubuh sendiri tidak berdampak ke orang lain. Atau melakukan banyak hal yang tadinya tidak sempat kita kerjakan sekarang bisa coba kita mulai.
"Dengan melakukan kegiatan yang membuat kita bahagia maka akan berpengaruh ke perasaan kita menjadi lebih bahagia.Termasuk kita bisa memanfaatkan teknologi bukan hanya untuk koordinasi kerja tetapi coba ngobrol receh sama teman-teman yang akan membantu mengeluarkan apa yang ingin kita sampaikan," urainya.