TEMPO.CO, Jakarta - Makanan yang dibakar seperti sate atau ayam bakar juga menjadi faktor risiko seseorang terkena kanker. Beberapa jenis kanker yang bisa terjadi karena makanan yang dibakar adalah kanker prankeas, usus, dan prostat.
Selama bertahun-tahun, penelitian tak berhenti mengulik tentang hubungan antara makanan yang dibakar dengan risiko terjadinya kanker. Pada tahun 2010 lalu, para peneliti dari Vanderbilt University di Tennessee menyimpulkan bahwa terlalu banyak mengonsumsi makanan yang dibakar dapat meningkatkan konsumsi karsinogen, utamanya heterocyclic amines (HCAs).
HCAs adalah senyawa kimia yang terbentuk pada daging merah yang diproses dengan cara dibakar. Selain itu, juga ditemukan pada olahan ayam dan ikan. Sayangnya, ancaman bahaya makanan yang dibakar tak berhenti sampai di situ.
Berikut ini bahaya makanan yang dibakar
1. Senyawa berbahaya
Selain heterocyclic amines atau HCAs yang telah diulas di atas, ada satu lagi senyawa kimia yang juga muncul dari makanan yang dibakar. Namanya adalah polycyclic aromatic hydrocarbons atau PAHs. Senyawa kimia ini juga lagi-lagi berhubungan dengan risiko terjadinya kanker. PAHs akan muncul ketika lemak dari daging dibakar langsung di permukaan yang dipanaskan atau api, sehingga menyebabkan munculnya asap. Menurut National Cancer Institute, bahkan tanpa membakar daging, misalnya dengan memasaknya dengan suhu tinggi, risiko meningkatnya PAHs tetap ada.
2. Mengganggu metabolisme tubuh
Adanya beberapa senyawa kimia berbahaya dari makanan yang dibakar membuat metabolisme tubuh terganggu. Untuk mencerna makanan, tentu menjadi tugas dari enzim dalam tubuh. Ketika konsumsi makanan yang dibakar terlalu banyak, maka kemungkinan metabolisme tubuh terganggu pun tak terhindarkan.
3. Risiko kanker
Ketiga dan paling penting dari risiko mengonsumsi makanan yang dibakar berlebihan adalah risiko mengalami kanker. Ketika tubuh terus menerus terpapar makanan yang dibakar, ada proses metabolisme oleh enzim yang disebut bioaktivasi. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan DNA dan memicu terjadinya kanker.
Menilik kembali ke proses masaknya, risiko kanker ini muncul dari substansi karsinogen. Substansi ini terbentuk pada saat proses pembakaran dilakukan. Kandungan asam amino, gula, dan kreatin dalam daging membentuk karsinogen saat dibakar dalam suhu tinggi.
Melihat ada ancaman yang begitu nyata dari konsumsi makanan yang dibakar berlebihan, lantas mengapa belum ada larangan untuk mengonsumsinya? Jawabannya adalah karena risiko terjadinya kanker hanya terjadi pada seseorang yang benar-benar mengonsumsi makanan yang dibakar dalam jumlah besar atau jangka panjang. Memang sudah ada penelitian dampak antara makanan yang dibakar dengan hewan, namun penelitian pada manusia masih belum optimal.
Meski demikian, penting untuk menekan risiko terkena kanker dari makanan yang dibakar dengan melakukan beberapa cara berikut:
- Melakukan marinasi atau memberi bumbu pada daging 20 menit sebelum dibakar dapat mengurangi risiko pembentukan heterocyclic amines
- Hindari kontak langsung daging dengan api atau permukaan logam yang terlalu panas dalam jangka waktu lama
- Gunakan microwave untuk memasak daging sebelumnya sehingga waktu kontak daging dengan suhu tinggi saat proses masak dapat dikurangi
- Terus membalik daging saat berada di permukaan logam panas, bukan didiamkan saja
- Sebisa mungkin, masak daging dengan suhu rendah
- Pastikan api sudah mengecil sebelum meletakkan daging di alat panggang
- Buang bagian lemak berlebih dari daging untuk mengurangi terbentuknya PAHs
- Tambahkan sayuran (kentang, parika, zucchini, jamur, kentang, paprika, zucchini, jamur) yang tetap aman meskipun dibakar
Tentu yang tak kalah penting, batasi konsumsi makanan yang dibakar demi kesehatan tubuh. Bukan sekadar urusan berat badan saja, tapi juga untuk mengurangi risiko terkena kanker. Jika sedang mengonsumsi makanan yang dibakar, imbangi dengan porsi sayuran hijau dan sayuran tinggi glucosinolates lebih banyak. Contohnya yang ideal adalah brokoli, kembang kol, kale, lobak, atau kubis.