Risiko bayi prematur dan stunting
Ilustrasi bayi prematur dalam inkubator. shutterstock.com
Dokter spesialis kandungan dan kebidanan konsultan fetomaternal Ali Sungkar mengatakan, perempuan usia muda memiliki basal metabolic rate atau BMR yang rendah. BMR merupakan kebutuhan kalori untuk melakukan aktivitas basalnya seperti memompa jantung, mencerna makanan, bernapas, memperbaiki sel tubuh, membuang racun dalam tubuh, mempertahankan suhu tubuh, dan lain sebagainya.
“Untuk hamil nutrisinya nggak baik sehingga risikonya melahirkan prematur dan bayi kecil,” kata Ali.
Kehamilan remaja memang bukan satu-satunya penyebab kelahiran prematur. Namun, sebuah penelitian yang dipimpin Ali Khashan dari University College Cork, Irlandia, pada 2010 menyebutkan bahwa remaja yang hamil di bawah 17 tahun 21 persen berisiko lebih tinggi melahirkan bayi prematur dan 93 persen melahirkan bayi kedua dengan kondisi yang sama.
Kelahiran prematur terjadi saat usia kehamilan belum mencapai ke-37 atau lebih awal dari hari perkiraan lahir. Padahal, minggu-minggu terakhir kehamilan merupakan masa yang penting dalam pembentukan organ vital bayi, termasuk otak dan paru-paru. Minggu-minggu ini juga merupakan masa pertambahan berat badan bayi yang begitu tinggi.
Indonesia tercatat sebagai negara dengan kelahiran premature tertinggi kelima di dunia. Menurut laporan Born too Soon The Global Action Report on Preterm Birth dari PBB, terdapat 675.700 bayi lahir sebelum waktunya pada 2010.
Dokter spesialis anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo M. Azharry Rully mengatakan, seluruh organ tubuh bayi prematur belum matang sehingga fungsi tubuhnya belum optimal. Akibatnya, bayi tersebut berisiko mengalami gangguan kesehatan. Gangguan yang paling banyak dialami adalah pernapasan, diikuti dengan infeksi. Tak jarang, kedua gangguan itu menyebabkan kematian bayi.
“Semakin kecil lahirnya, semakin kecil dia bisa bertahan hidup. Kalaupun dia bisa bertahan hidup biasanya mengalami komplikasi kesehatan dan risiko gangguan tumbuh kembang,” kata Azharry.
Bayi prematur membutuhkan perhatian khusus agar bisa melalui masa tumbuh kembang seperti anak-anak yang dilahirkan cukup bulan. “Tugas kita adalah menjaga bayi tumbuh tapi tidak boleh berlebihan atau kebablasan turun terus. Kalau nutrisinya kerendahan jadinya stunting, kalau kebablasan obesitas sehingga mengalami hipertensi, sindrom metabolik, dan diabetes di usia sekolah,” ujar Azharry.
Kehamilan remaja bukan satu-satunya penyebab anak stunting. Banyak faktor risiko lainnya, termasuk asupan gizi dan stimulasi di 1.000 hari pertama kehidupan dan sanitasi yang buruk.
Ilustrasi gizi buruk. REUTERS
Namun, penelitian UNICEF Multiple Indicator Clusters Survey terhadap perkembangan dan kesehatan anak-anak di Afrika sub-Sahara pada 2010-2014, menyimpulkan bahwa anak yang dilahirkan perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun mengalami risiko stunting lebih tinggi 25-29 persen dibandingkan dengan wanita yang menikah lebih tua.
Stunting dan obesitas menjadi masalah gizi ganda yang dihadapi balita Indonesia saat ini. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi balita stunting sebesar 30,8 persen, sedangkan obesitas 8 persen.