Rentan perceraian
Ilustrasi perceraian. Shutterstock
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Selain rentan mengalami masalah kesehatan dan kemiskinan, perkawinan anak banyak yang berakhir dengan perceraian. Data BPS 2010 menunjukkan kasus perceraian tertinggi menimpa kelompok usia 20–24 tahun dengan usia pernikahan belum genap lima tahun.
Temuan Nicholas Wolfinger, seorang profesor dari studi keluarga dan konsumsi dan sosiologi di Universitas Utah, Amerika Serikat, pun serupa. Ia melakukan studi terhadap data National Survey of Family Growth (NSFG) Center for Desease Control and Prevention, AS, periode 2006 hingga 2010. Hasilnya, angka perceraian tertinggi terjadi pada pasangan yang menikah di bawah usia 20 tahun, yaitu 32 persen, disusul dengan usia 20-24 tahun sebesar 20 persen.
Psikolog dari Yayasan Sejiwa, Diena Haryana, mengatakan perceraian pada perkawianan anak sangat mungkin terjadi karena remaja cenderung sangat emosional. Mereka belum menjadi pribadi yang utuh untuk mengetahui hal yang baik dan buruk, bagaimana berbagi dalam sebuah hubungan, bagaimana mengatasi konflik dan memecahkan masalah, juga belum memiliki kemampuan membuat rencana masa depan bersama.
“Sehingga ketika perceraian itu terjadi tidak mengagetkan karena keputusan mereka impulsif. Mereka masih pengin main, karena dunia anak adalah bermain,” kata dia.
Diena mengatakan usia yang ideal untuk menikah adalah di atas 20 karena kematangan otak umumnya terjadi di usia 25 tahun. Pada usia tersebut karakter telah terbentuk sehingga orang tersbeut sudah memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan apakah dia benar-benar cinta hingga ingin menikah, nalarnya pun sudah jalan.
Selain masalah emosional, kemiskinan yang terjadi pada perkawianan anak juga bisa memicu pertengkaran terus-menerus yang berujung pada perceraian.
Setelah bercerai, ke mana anak-anak mereka? Kebanyakan dititipkan kepada nenek dan kakeknya. Anak-anak ini pun akhirnya kurang mendapat perhatian dari kedua orang tuanya yang kebanyakan memilih bekerja di tempat lain atau menikah lagi. Perceraian menambah risiko anak-anak kurang perhatian dari orang tua, termasuk masalah pemenuhan gizi dan pendidikan. Padahal, anak-anak inilah yang akan menjadi bagian dari masa depan pembangunan Indonesia.