Antara ekonomi dan budaya
Ilustrasi anak kecil pacaran. huffpost.com
Sekretaris cabang Koalisi Perempuan Indonesia atau KPI Bogor Mega Puspita mengatakan, perkawinan anak di Kabupaten Bogor kebanyakan terjadi karena pergaulan bebas, imbas dari akses Internet tanpa pengawasan orang tua. “Mereka terjerumus karena kurang perhatian orang tua,” kata Mega yang mendirikan KPI cabang Bogor pada 2016.
Namun, jika ditarik akar masalahnya, penyebab utamanya adalah masalah ekonomi. Anak-anak yang melakukan perkawinan ini kurang mendapatkan perhatian orang tua karena baik ibu atau ayah sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Karena mereka tak dapat membayar pengasuh, anak pun dititipkan ke nenek atau kakeknya yang umumnya bekerja sebagai petani.
Selain masalah ekonomi, Mega juga mengatakan perkawinan anak banyak terjadi karena budaya setempat. Kebanyakan orang desa tidak terbiasa melihat kedekatan anak laki-laki dan perempuan. Jadi jika ada sepasang anak yang sering bersama, muncullah cibiran dari tetangga yang dianggap dapat merusak nama baik.
“Mereka takut pada omongan tetangga, kalau nggak dinikahkan akan berzina. Selain omongan tetangga, banyak juga yang takut anaknya disebut perawan tua,” ujar Mega. Ia juga tak menampik masih ada anggapan bahwa menikah merupakan salah satu langkah untuk menghindari zina.
Ancam pembangunan berkelanjutan
Perkawinan anak menjadi ancaman serius bagi tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) dari segala sisi, baik kesehatan, kemiskinan, pendidikan, hingga kesetaraan gender dan perlindungan anak.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan, korban perkawinan anak berpotensi hamil dan melahirkan dengan risiko tinggi sehingga dapat meningkatkan angka kematian ibu. Mereka juga rentan kekurangan gizi karena masih mengalami pertumbuhan. Ketika butuh gizi untuk tumbuh, mereka juga harus memenuhi kebutuhan gizi bayi yang ada di kandungannya.
Akibatnya, bayi yang dilahirkan berisiko mengalami gizi buruk pada 1.000 hari pertama kahidupan. Ditambah lagi, ketidaksiapan mereka menjadi ibu secara emosional membuat anak berisiko mendapatkan stimulasi yang tidak tepat.
“Pada masa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) tidak tercukupi asupan gizi dan asupan pendidikan motorik dan emosional. Padahal 1.000 HPK adalah masa penentu perkembangan otak dan penentu kualitas manusia,” ujar Dian.
Dian menambahkan, kebanyakan anak yang menikah juga terpaksa putus sekolah sehingga tidak mendapatkan pendidikan cukup yang menjadi hak mereka, seperti yang dialami Dini. BPS menyebut, sebanyak 44,9 persen perempuan yang menikah di usia anak-anak hanya lulus SMP, sisanya SD sebanyak 33,9 persen, SMA 11,8 persen, dan tidak sekolah 9,4 persen. Ini artinya, perkawinan anak ikut berkontribusi atas rendahnya kualitas SDM Indonesia.
Ketika dalam perkawinan tersebut lahir anak, maka orang tua yang masih anak-anak itu harus mencari kerja untuk menghidupi anaknya. Dengan pendidikan yang rendah, umumnya mereka akan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang rendah pula. Akibatnya, mereka akan memiliki daya beli yang rendah, termasuk untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Risiko anak mengalami kekurangan gizi pun menjadi tinggi.