TEMPO.CO, Jakarta - Seperti namanya, mi instan bisa disajikan dalam sekejap. Harganya murah, rasanya juga enak. Tidak heran jika makanan ini menjadi salah satu favorit orang Indonesia.
Namun, banyak kekhawatiran telah dikemukakan di masa lalu mengenai dampaknya terhadap kesehatan. Mi instan sebenarnya bisa mengandung gizi asal diolah dengan cara yang tepat, misalnya menambahkan sayuran dan telur. Tapi, kebanyakan orang tidak menambahkan nutrisi lainnya karena rasanya sudah enak.
Sebelum Anda mengonsumsi makanan ini secara berlebihan, mari simak beberapa alasan mengapa Anda harus mulai mengurangi makanan ini, seperti dilansir Times of India, Sabtu, 16 November 2019.
1. Tinggi MSG
Sebagian besar mi instan mengandung monosodium glutamate (MSG), zat tambahan yang digunakan untuk meningkatkan cita rasa makanan. Penelitian telah menunjukkan bahwa mengonsumsi MSG berlebih dapat memiliki efek merugikan seperti kenaikan berat badan, peningkatan tekanan darah, dampak negatif pada otak, dan sakit kepala.
Namun, dalam pemakaian yang secukupnya, MSG aman dikonsumsi dan tidak menyebabkan dampak buruk atau bahaya lainnya bagi kesehatan manusia. Ini karena MSG terbuat dari tetes tebu melalui proses fermentasi, bukan dari zat kimia sintetik atau zat aditif. Penyedap ini juga sudah diakui keamanannya oleh beberapa badan dunia di bidang pangan, termasuk FDA dan BPOM.
2. Gizi rendah
Banyak orang mengganti menu makan utamanya dengan mi instan. Padahal makanan ini mengandung banyak kalori, gula, lemak jenuh, dan tanpa protein atau serat. Menu yang ideal sarat dengan nutrisi, dilengkapi dengan serat, protein, dan zat gizi lainnya. Tubuh Anda tubuh Anda butuh nutrisi penting untuk membantu fungsi sel dan jaringan.
3. Tinggi sodium
Mi instan mengandung tinggi natrium. Kelebihan natrium terkait dengan banyak kondisi serius seperti tekanan darah tinggi, stroke, gagal jantung, batu ginjal, dan kanker lambung.
4. Kontaminan lain
Banyak sampel mi instan di dunia telah diuji positif mengandung banyak logam berat seperti timah, merkuri, arsenik, dan tembaga. Konsumsi logam-logam dibatasi ini hanya sampai jumlah tertentu. Kelebihan zat-zat tersebut dapat menyebabkan keracunan logam yang konsekuensinya antara lain kerusakan organ, perubahan perilaku, dan kemunduran kemampuan kognitif.