TEMPO.CO, Jakarta - Itang Yunasz telah menekuni industri fashion selama 40 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, ia banyak mengolah kain tradisional khususnya tenun dari Nusa Tenggara Timur. Namun, dalam koleksi yang bertajuk "Nusantara untuk Dunia" kali ini ia menyajikan songket Sumatra Barat atau tanah Minang.
"Jadi awalnya saya diminta kembali oleh Bank Indonesia untuk mengolah produk wastra dari UKM yang berada di bawah naungan mereka. Ada tiga opsi yang ditawarkan, pertama kain dari Aceh, songket Sumbar, dan Palembang," ucapnya saat ditemui dalam Sustainable & Ethical Fashion dalam rangkaian Indonesia Sharia Economic Festival atau ISEF, Jakarta, Kamis 14 November 2019.
Saat itu Itang Yunasz berpikir belum begitu memahami karakter kain dari Aceh. Selain itu karena sudah terlalu sering mengolah songket Palembang, maka pilihannya pun jatuh pada songket Sumatera Barat. "Saya sangat dekat dengan songket Sumbar karena kedua orang tua berasal dari sana. Sekarang kain songket sudah dicampur dengan sutra, jadi tidak selaku dulu jadi lebih mudah diolah," kata Itang.
Di tangan desainer kelahiran 31 Desember 1958 ini kain songket pun menjelma delapan tampilan busana muslim dengan gaya bertumpuk yang dekonstruktif. Ada yang beda dalam koleksi kali ini yaitu kain yang terpakai tidak dipotong tapi diolah dengan teknik melipat.
Selain menjaga keindahan asli kain, menurut Itang Yunasz teknik melipat juga dapat meminimalisir limbah kain agar sesuai dengan tema fashion etical dan berkelanjutan yang digaungkan oleh ISEF 2019. "Tak hanya teknik lipat jahit, sampai ke sisa potongan dari kain yang lama juga saya manfaatkan untuk detail di beberapa bagian," jelas Itang Yunasz.
EKA WAHYU PRAMITA
Baca Juga: