TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 10 tahun lalu, survei yang dilakukan International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG) yang bekerja sama dengan Yayasan Kusuma Bangsa (YBK) merilis data penderita anemia di Kepulauan Seribu, sebuah kabupaten bagian dari Ibu Kota Jakarta. Lebih dari 75 persen, dari 49 persen ibu hamil yang diuji, juga mengalami anemia. Penyebabnya adalah pola hidup dan pola makan yang kurang sehat, ditambah dengan ketidaktahuan masyarakat tentang bahaya anemia.
Kondisi ini tampaknya belum jauh berbeda. Dokter dari Rumah Sakit Umum Daerah Kepulauan Seribu, Andi Fadlan, mengatakan angka anemia pada ibu hamil di kepulauan itu sangat tinggi. “Itu adalah salah satu faktor persalinan berisiko, ditambah dengan ketidaksiapan rumah sakit untuk menanganinya,” kata dia dalam diskusi “Penguatan Kapasitas Pelayanan Dasar Melalui Pemanfaatan Teknologi untuk Menurunkan Kasus Kematian Ibu dan Anak” di Jakarta, Rabu, 6 November 2019. Diskusi itu diselenggarakan Lembaga Kajian dan Konsultasi Pembangunan Kesehatan.
Salah satu risiko yang dihadapi dari ibu hamil dengan anemia adalah preeklamsia atau komplikasi yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, juga perdarahan pasca-persalinan.
Fadlan mengatakan, RSUD itu sering menerima rujukan pasien preeklampsia dari puskesmas di malam hari. Idealnya kondisi tersebut ditangani dengan operasi Caesar untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Namun, RSUD tidak bisa melakukan tindakan. Sementara merujuknya langsung ke rumah sakit yang lebih besar di Jakarta tidak memungkinkan karena tidak ada kapal yang beroperasi.
“Jadi sepanjang malam deg-degan, berharap tidak terjadi apa-apa sampai pagi,” kata dia.
Menurut Fadlan, sebenarnya RSUD Kepulauan Seribu memiliki fasilitas ruang operasi, dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter anestesi, dan tenaga medis lainnya untuk melakukan operasi Caesar. Tapi, rumah sakit ini tidak memiliki kemampuan untuk melakukan transfuse darah sehingga operasi tersebut tidak bisa dilakukan.
“Andai darah dan obat-obatan didekatkan, pengaruhnya akan sangat signifikan. Di sinilah pentingnya teknologi untuk transportasi darah supaya tidak perlu ada rujukan,” kata dia.
Merujuk ke Jakarta pun belum tentu disetujui pasien. Banyak pasien yang menolak karena butuh ongkos besar, meski biaya pengobatan gratis.
Tak hanya di Kepulauan Seribu, masalah yang sama atau mungkin lebih besar terjadi di daerah-daerah Indonesia, khususnya di kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar. Kondisi ini menyulitkan Indonesia mengatasi tingginya angka kematian ibu dan bayi. Berdasarkan survei, angka kematian ibu pada 2015 sebesar 305/100.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi baru lahir sebanyak 15/1000 kelahiran hidup. Saat ini Indonesia termasuk 10 negara dengan angka kematian ibu dan bayi terbesar di dunia.