TEMPO,CO, Jakarta - Pasangan suami istri manapun tentu tak pernah memiliki rencana berpisah. Namun jika keadaan tak berpihak dan pernikahan berujung perceraian, bagaimana dengan nasib anak?
Pasangan orang tua yang akhirnya bercerai mungkin memiliki banyak kekhawatiran di pikiran mereka. Mulai masa depan situasi kehidupan mereka sampai ketidakpastian pengaturan hak asuh akan ikut salah satu dari orang tua mereka.
Baca Juga:
Melalui Co-parenting atau pola pengasuhan bersama, orang tua dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi efek psikologis perceraian pada anak-anak. Beberapa strategi pengasuhan yang mendukung dapat membantu anak-anak menyesuaikan diri dengan perubahan yang disebabkan oleh perceraian.
Banyak contoh atau role model dari kalangan figur publik yang sudah menerapkan proses mengasuh anak bersama meski telah bercerai. Seperti Wishnutama dan Wina Natalia, Krisdayanti dan Anang, Enno Lerian dan Nayaka Untara, sampai Gading Martin dan Gisella Anastasia.
Memang sekilas tak mudah namun jika disepakati bersama atas dasar kepentingan dan kenyamanan anak tentu akan dipermudah. Berikut tips Co-parenting yang bisa Anda terapkan di awal-awal masa perceraian, seperti dihimpun dari berbagai sumber.
1. Kesepakatan
Tak lagi bersama tentunya pola komunikasi terkait anak juga terbatas. Perlu kekompakan kedua belah pihak untuk mengatakan pada anak soal perpisahan. Hindari saling menyalahkan dan menceritakan kekurangan masing-masing. Anak-anak sedang berjuang untuk memahami mengapa mereka harus pergi di antara dua rumah. Mereka mungkin khawatir jika orang tua mereka dapat berhenti saling mengasihi satu sama lain, maka orang tua mereka akan berhenti mencintai mereka.
2. Komitmen
Kondisi perceraian tentunya akan menciptakan gejolak emosi bagi seluruh keluarga, tetapi untuk anak-anak, situasinya bisa sangat menakutkan, membingungkan, dan membuat frustrasi. Untuk itu Anda sebagai orang tua perlu menegaskan komitmen bersama, bahwa apapun yang terjadi, sekalipun itu berpisah tidak akan menghilangkan cinta, kasih sayang, dan perhatian pada anak. Bahwa anak-anak akan tetap menjadi prioritas, meski masing-masing telah membina rumah tangga yang baru.
3. Kepercayaan
Meski banyak anak-anak yang cenderung mengalami kesulitan, marahan, kecemasan, dan ketidakpercayaan, tetapi banyak anak-anak bisa bangkit kembali. Mereka dapat terbiasa dengan perubahan dalam rutinitas sehari-hari dan merasa nyaman dengan pengaturan hidup mereka.