TEMPO.CO, Jakarta - Nirina Zubir sedikit cemas saat harus mengantarkan anak kembali ke sekolah. Apalagi setelah bersama-sama menghabiskan waktu selama liburan. Rasa khawatir muncul karena ia menyadari tak bisa lagi sepenuhnya memantau kondisi anak.
"Selama ini interaksi mereka sama keluarga, ada rasa deg-degan mereka ke sekolah, khawatir mereka bisa adaptasi lagi atau enggak," tutur Nirina.
Untuk mengatasi rasa itu, Nirina berusaha menanamkan kepercayaan diri pada buah hatinya agar bisa kembali beradaptasi saat berada di lingkungan baru. Setiap anak punya kepribadian yang berbeda, begitu pula dengan anak Nirina.
Pembawa acara yang dikenal dengan gaya cerita itu menuturkan anak pertamanya, Zivara, 9 tahun, cenderung lebih terbuka alias ekstrovert. Sementara si bungsu Elzo, 6, cenderung introvert.
"Aku menyiapkan rasa kepercayaan diri si adik agar dia bisa bersosialisasi. Kakaknya ikut membantu menyakinkan, 'It's okay' katanya," tutur Nirina.
Sebagai orang tua, perasaan Nirina campur aduk antara khawatir melepas anak ke lingkungan yang lebih besar dari rumah, tapi di sisi lain ia mau tak mau harus menyiapkan anak agar bisa berkembang lebih dewasa. Prinsip terpenting yang ia terapkan adalah komunikasi dengan anak.
"Komunikasi itu penting, aku bilang kalau ada apa-apa kasih tahu saja, aku akan jadi teman dekat anak, mereka bisa cerita apa pun yang terjadi di sekolah," katanya.
Menurut psikolog anak dan keluarga Rosdiana Setyaningrum, hal terpenting dari proses transisi kembali ke sekolah adalah keyakinan orang tua bahwa ia mampu mempersiapkan perlindungan yang menyeluruh kepada anak. Orang tua tidak boleh memperlihatkan rasa cemas agar anak bisa ikut tenang.
"Kalau dia bisa masuk dengan tenang dan happy, hari-hari selanjutkan akan lancar. Orang tua juga tenang karena anak sudah lebih settled," katanya.