TEMPO.CO, Jakarta - Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia (KPB Indonesia) dan Universitas Pelita Harapan (UPH) mendeklarasikan gerakan “Indonesia Berkebaya” pada 16 Juli 2019, di Museum Nasional, Jakarta Pusat. Gerakan ini adalah bagian dari upaya untuk mengembalikan masyarakat, terutama wanita, ke budaya Indonesia dan mencintai Indonesia dengan berkebaya.
Gerakan ini dimulai dengan gerakan “Selasa Berkebaya”, yang mengajak wanita Indonesia untuk menggunakan kebaya dalam aktivitas sehari-hari, baik ke kantor, ke pasar, dan berbagai aktivitas lain, setiap Selasa.
Baca Juga:
“Sekarang kami ingin memperkenalkan dulu kebaya, dari Selasa Berkebaya bisa melihat kebaya diterima atau tidak di Indonesia,” tutur pendiri KPB Indonesia, Rahmi Hidayati.
Ada empat tujuan utama deklarasi “Indonesia Berkebaya”. Pertama, memperkenalkan kembali kebaya sebagai bagian dari sejarah dan budaya Indonesia kepada generasi muda Indonesia. Kedua, meningkatkan kreativitas dalam mendesain kebaya tanpa meninggalkan pakem budaya yang merupakan warisan leluhur. Ketiga, menjadi pemersatu bangsa. Terakhir, untuk memajukan ekonomi masyarakat.
Sejumlah model berpose menggunakan kebaya dalam di Museum Nasional, Jakarta, Selasa, 16 Juli 2019. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komunitas Perempuan Berkebaya yang bertujuan untuk melestarikan busana kebaya bagi masyarakat Indonesia. TEMPO/Muhammad Hidayat
“Busana nasional sebagai artefak penanda bangsa. Kebudayaan itu mendukung kepribadian masyarakat, memberikan karakter pada masyarakat Indonesia melalui busana,” jelas Dr. Suciati, dosen Prodi Pendidikan Tata Busana Departemen Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Universitas Pendidikan Indonesia.
KPB Indonesia juga mendorong kebaya sebagai bagian dari Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi UNESCO (Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa), seperti batik. Dengan adanya gerakan "Indonesia Berkebaya", pemerintah diharapkan bisa menetapkan salah satu tanggal sebagai Hari Kebaya Nasional.
“Kami memfasilitasi saja, karena hari nasional itu keputusannya di presiden. Memang sudah ada hari batik yang berhubungan dengan UNESCO, kalau kebaya belum sampai sana. Namun mungkin tidak perlu hari nasional, tapi ada gerakan satu waktu untuk masyarakat Indonesia menggunakan busana nasional,” jelas Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.