TEMPO.CO, Kediri - Industri tenun di Kediri tumbuh sebelum era kemerdekaan Republik Indonesia. Sempat hancur akibat mahalnya harga benang dan peristiwa politik G30-S/PKI, perlahan-lahan tenun Kediri kembali bangkit dengan wajah modern.
Baca: Sedang Tren, Tenun dengan Warna Alam
Kota Kediri yang dibelah oleh aliran Sungai Brantas seolah menjadi penanda, mana bagian penenun dan mana yang bukan. Penduduk Kota Kediri yang berprofesi sebagai penenun lebih banyak ditemukan di bagian barat sungai, khususnya di Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto.
Hampir semua warga Kelurahan Bandar Kidul punya alat tenun. Namun ada satu keluarga yang menjadi pencetusnya, yakni keluarga Latief Suwignya. Keluarga ini pula yang pertama kali mengerek kerajinan tenun ikat menjadi industri.
Orang tua Latief Suwigya adalah keturunan Tionghoa yang memiliki cukup banyak alat tenun dan pekerja. "Saya masih kelas tiga sekolah rakyat saat bapak saya membangun industri tenun tahun 1939," kata lelaki 87 tahun itu kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Latief Suwigya menceritakan kejayaan industri tenun Kediri kala itu. Saking pesatnya usaha orang tuanya, Latief bahkan sempat dikirim ke Belanda untuk belajar soal tenun di sekolah khusus tekstil.
Kepulangan Latief ke tanah air membawa perubahan dahsyat soal kualitas dan ragam pewarnaan tenun Kediri. Tak hanya tentang teknik pewarnaan, Latief juga mempelajari pembuatan benang menjadi kain di Belanda yang lebih maju dalam industri tekstil.
Namun satu-satunya ilmu yang tak dipelajari adalah stabilitas harga bahan baku. Tingginya ketergantungan bahan baku tenun pada benang impor membuat industri ini cukup rentan. "Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba usaha orang tua saya ambruk karena naiknya harga benang," kata Latief.
Artikel lainnya: Tampil Modis dengan Tenun ala Annisa Pohan
Tak berhenti di sana, gonjang-ganjing politik yang berujung pecahnya gerakan 30 September berdampak besar pada industri ini. Usaha yang telah diproduksi secara massal tiba-tiba tenggelam. "Peristiwa PKI membuat tenun mati suri selama dua puluh tahun," kata Siti Rukayah, 48 tahun, perajin tenun di Kelurahan Bandar Kidul.
Perajin tenun di Kelurahan Bandar Kidul, Kediri, Siti Rukayah, 48 tahun. TEMPO | Hari Tri Wasono (Kediri)
Bersama suaminya, Siti Rukayah memberanikan diri merintis kembali usaha tenun di Kelurahan Bandar Kidul. Suaminya Munawar adalah bekas pekerja di sebuah industri tenun yang telah bangkrut. Kala itu tak banyak pemilik mesin yang mengikuti langkah Siti Rukayah. Sebagian dari mereka beralih ke pekerjaan lain karena belum melihat prospek penjualan tenun yang lebih baik.
Bermodal dua mesin tenun, pasangan suami istri ini memproduksi sendiri kain sarung yang menjadi produk utama perajin tenun di tahun 1989. Sedikitnya jumlah penenun yang memulai kembali usaha mereka melapangkan jalan Siti Rukayah di bisnis ini. Dari lima desa yang menjadi kawasan perajin tenun di wilayah barat Kota Kediri, hanya Kelurahan Bandar Kidul yang membangun kembali bisnis ini.
Satu per satu bekas pekerja tenun di kelurahan ini direkrut. Mereka juga mampu menggandakan jumlah mesin tenun dari 2 unit menjadi 15 unit. Mesin tenun manual yang dibuat dari kayu ini digerakkan oleh tenaga manusia dan dikenal sebagai alat tenun bukan mesin (ATBM).
Selanjutnya: Bisnis tenun Siti Rukayah jatuh jua.