TEMPO.CO, Jakarta - Bila suami istri memutuskan untuk bercerai, kadang tidak dapat dielakkan. Namun demikian, orang tua perlu memahami bagaimana dampak psikologis anak.
Baca juga: Tahapan Sebelum Istri Menggugat Cerai, Apa yang Dia Pikirkan?
Susanto, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengatakan perceraian berakibat kompleks bagi anak. Tumbuh kembang anak kerap terhambat akibat kondisi tersebut. Selain itu, kondisi psikis anak cenderung akan terganggu setelah terjadi perpisahan dengan orang tuanya. “Ini kompleks buat anak, belum lagi ada sejumlah kasus, pendidikan anak juga tidak berlangsung dengan baik [setelah perceraian orang tua],” katanya.
Menurutnya, sebelum orang tua memutuskan berpisah, biasanya pertikaian yang terjadi ikut menyeret anak. Di beberapa kasus, kata Susanto, saat keluarga mulai retak, anak bisa saja menjadi korban kekerasan baik secara fisik, psikis maupun kekerasan verbal yang dialami dari orang tua. “Titik tekannya tidak semata-mata cerainya, tetapi saat konflik rumah tangga terjadi, anak akan rentan terdampak,” ucapnya.
Berdasarkan data yang dihimpun KPAI, anak korban perebutan hak kuasa asuh dialami 76 anak laki-laki dan 84 anak perempuan sepanjang 2018. Selain itu, kasus anak sebagai korban pelarangan akses bertemu orang tua terjadi pada 78 laki-laki dan 98 anak perempuan pada tahun yang sama. Dua kasus ini rentan terjadi pada anak setelah kedua orang tua memilih jalannya masing-masing.
Dia mengatakan seharusnya orang tua bisa membangun relasi positif satu sama lain. Hubungan antara suami dan istri semestinya juga perlu ditingkatkan. Menurut Susanto, hal tersebut harus dilakukan untuk menghindari keretakan dalam rumah tangga yang berdampak kompleks bagi masa depan anak.
“Pertama, semua keluarga Indonesia harus menguatkan ikatan keluarga dengan baik. Hindari keretakan rumah tangga, apalagi berakhir cerai. Kedua, pastikan relasi dengan kerabat dan sanak famili terus dikuatkan. Jika ada potensi retak, keluarga dan famili bisa saling membantu untuk mencegahnya,” tutur Susanto.