TEMPO.CO, Jakarta - Kesabaran berlimpah sangat dibutuhkan kala berurusan dengan anak-anak. Apalagi jika kondisi emosi mereka belum stabil.
Buku Raising An Emotionally Intelligent Child karya profesor psikologi asal AS, John Gottman Ph.D., menyebut bahwa balita rata-rata menuntut pengasuh atau orang tua menuruti kemauan mereka setidaknya tiga kali dalam semenit. Jika keinginan itu tidak dituruti, maka muncullah tangisan, amarah, hingga tantrum.
Tantrum disebabkan ketidakmampuan anak menyampaikan keinginan dan mengelola emosi negatif. Untuk mencegahnya, orang tua perlu sejak dini membantu anak mengenali, merasakan, dan mengelola emosi sehingga mereka tumbuh menjadi anak yang cerdas secara emosi. Emosi yang baik membuat anak tidak mudah mengalami tantrum.
Artikel lain:
4 Manfaat Orang Tua Memeluk Anak
Alasan Orang Tua Wajib Menanamkan Kebiasaan Baik pada Anak
Hal ini akan menjadi bekal agar anak tumbuh menjadi pribadi yang penuh empati, tenang, dan terampil mengendalikan diri. Berikut yang harus dilakukan orang tua.
#Kenali emosi Anda dulu
Anak cermin orang tua. Bagaimana mungkin berharap anak punya kecerdasan emosi yang baik jika orang tua belum mampu mengendalikan emosinya sendiri? Sebelum mengajari anak mengelola emosi, pastikan Anda sudah menjadi orang yang mampu mengenali emosi.
“Penelitian kami menunjukkan, agar orang tua dapat mengetahui apa yang dirasakan anak, mereka harus mampu merasakan emosinya sendiri. Pertama mengenali emosi diri sendiri, baru anak-anak. Ada istilah kewaspadaan emosional, yakni Anda mampu mengenali diri sendiri ketika emosi (entah senang, marah, sedih, dan kecewa). Setelah itu, Anda mampu mengidentifikasi perasaan Anda serta sensitif dengan perasaan orang lain (termasuk anak),” jelas Gottman.
#Belajar melabeli emosi
Anak tidak terlahir dalam kondisi langsung bisa Anak Anak tidak terlahir dalam kondisi langsung bisa mendefinisikan makna senang, sedih, kecewa, marah, takut, dan jenis emosi lain. Tugas orang tua, mengajari mereka mengenal beragam emosi sedini mungkin, bahkan sebelum anak mampu berbicara. Jangan segan membantunya melabeli emosi yang muncul dalam situasi tertentu.
Sampaikan dengan kalimat, “Senang, ya kamu karena Papa pulang cepat?” atau “Kakak kecewa, ya karena Mama tidak jadi membelikan permen? Maaf, ya.” Dengan melabeli emosi yang dirasakan anak di setiap situasi, ia belajar merasakan yang namanya senang, kecewa, hingga sedih.
#Luapkan emosi negatif dalam situasi yang pas
Hidup tidak selamanya bahagia. Ada kalanya sejumlah problem menguras emosi. Penting bagi Anda untuk mengekspresikan emosi negatif dengan cara yang tepat di hadapan anak. Selama dilakukan dalam konteks dan situasi yang tepat, anak-anak akan belajar mengelola emosi. Yang tidak boleh, meluapkan emosi negatif di hadapan anak tanpa konteks yang jelas. Misalnya, Anda kesal karena urusan pekerjaan lalu mengomeli anak.
Anda boleh menangis di depan anak ketika mendengar kabar duka atau marah ketika anak melakukan pelanggaran. Sebutkan emosi apa yang Anda rasakan lalu berikan penjelasan kepada anak.
“Mama menangis karena sedih mendengar kabar teman Mama meninggal dunia” atau “Mama marah karena Adik tidak mendengar perkataan Mama!” Dengan demikian ia belajar mengenali berbagai emosi negatif dan menempatkannya di situasi yang pas.
Baca juga:
Pengaruh Masa Lalu Orang Tua pada Buruknya Pertumbuhan Anak
#Jangan memendam emosi negatif
Apa akibatnya jika orang tua terus berusaha terlihat bahagia dan tidak pernah menunjukkan emosi negatif di hadapan anak?
“Dengan menyembunyikan emosi negatif, orang tua mungkin akan menumbuhkan anak yang tidak mampu mengelola emosi negatif,” urai Gottman.
Dengan tidak pernah menyaksikan orang tua menghadapi emosi negatif, anak tidak punya model untuk belajar menghadapi hal-hal sulit yang memancing emosi negatif mereka. Kecuali Anda bisa menjamin kehidupan anak kelak akan terus diliputi kebahagiaan dan kepuasan, Anda harus mempersiapkan mental anak jika suatu hari mereka mengalami hal-hal yang tidak diinginkan atau yang memancing emosi negatif mereka.