TEMPO.CO, Jakarta - Keberhasilan bisa mengalirkan berbagai penghargaan. Salah satunya bonus besar, seperti yang diterima para atlet peraih medali di Asian Games 2018. Di perusahaan-perusahaan yang sehat, keberhasilan karyawan juga biasanya diganjar bonus atau penghargaan tertentu.
Dari sudut pandang psikologis, menurut teori motivasi setiap prestasi memang layak untuk diapresiasi. Psikolog Universitas Bina Nusantara Jakarta, Nanang Suprayogi, mengatakan apresiasi dapat menjadi motivasi eksternal bagi setiap individu untuk meningkatkan performanya.
Artikel lain:
4 Formula Berolahraga untuk Bentuk Tubuh Ideal bak Atlet
Tips Cantik dan Sehat dari Atlet Voli Pungky Afriecia
Selain Aprilia Manganang, 4 Atlet Ini Pernah Diminta Tes Gender
Gaya Hijab Simpel Atlet Panahan Diananda Choirunisa
“Wajar atlet menerima apresiasi, apalagi prestasinya bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga membawa nama baik bangsa. Jadi apresiasinya masuk ke level lebih tinggi,” ujar Nanang.
Sanjungan dan apresiasi yang diterima hendaknya dijadikan pengingat untuk tetap fokus dan berprestasi. Pada intinya, masyarakat mempunyai peran besar untuk membuat atlet tidak mudah “terbang” karena pujian dan tidak mudah tumbang karena cacian.
“Bimbingan mental juga harus dilakukan, ketika menjadi bintang harus dipersiapkan mentalnya, bagaimana agar terlihat sebagai atlet yang baik dan tidak arogan, tidak mereduksi kepribadiannya,” katanya.
Atlet taekwondo, Defia Rosmania. ANTARA FOTO/INASGOC/Sunyoto
Agar tidak menjadi beban ataupun mengganggu mental atlet, apresiasi juga harus dilakukan secara wajar dan tetap memberikan kesempatan atlet, seperti memberikan waktu yang cukup untuk fokus latihan. Misalnya momen apresiasinya jangan sampai mengurangi porsi latihan atlet, apalagi yang berdekatan dengan pertandingan selanjutnya.
“Apresiasi juga harus dilakukan secara tepat dan jangan terlalu menuntut. Dulu pernah kejadian pada atlet sepakbola, ketika hampir final, atlet diseret kemana-mana, kemudian waktu yang dipakai untuk istirahat dan latihan berkurang,” jelasnya.
Apalagi, setelah berprestasi pastinya akan semakin dikenal, bahkan tak jarang berbagai tawaran iklan ataupun acara televisi berdatangan. Jika tak terkontrol, efeknya bisa mengarah pada sindroma bintang atau star syndrome sehingga atlet kurang peduli dengan faktor terpenting yang membuat berprestasi menjadi atlet.
“Manajer atlet juga harus tegas, waktu latihan tidak boleh diganggu gugat,” katanya.
Psikolog Nova Riyanti Yusuf menambahkan, sebenarnya atlet layak untuk menjadi megabintang karena kerja mereka yang tidak instan, bahkan butuh penggemblengan sejak anak-anak untuk mencapai puncak keberhasilan.
“Jadi, atlet dapat memperkenalkan kerja keras bukan serba instan, misalnya histeris harus masuk ‘Idol’ seputar menyanyi. Menjadi atlet ibaratnya menjadi pleasure delayer,” tambah Nova.
Menurutnya, menjadi seorang atlet tidak cukup hanya bermodal bakat dan insting alami namun juga harus beriringan dengan latihan yang giat dan kedisiplinan tinggi.