TEMPO.CO, Jakarta - Ketika mengajarkan sportivitas kepada anak, tentu menjadi hal yang dilematis. Di satu sisi Anda ingin anak menghargai kompetisi dan berharap anak mengerahkan seluruh kemampuan agar meraih kemenangan.
Baca juga:
Alasan Orang Tua Wajib Menanamkan Kebiasaan pada Anak
Kapan dan Bagaimana Mengajarkan Anak Soal Seks, Cek di Sini
Kiat Melatih Anak Mengatur Keuangan
Baca Juga:
Sedangkan Anda tidak ingin anak terbawa emosi dan tidak bisa mengendalikan diri ketika menghadapi situasi yang tidak diharapkan, lawan yang terlalu tangguh, dan kekalahan sebagai ujungnya. “Bagaimana lombanya? Kamu menang atau kalah?” Dengan pertanyaan ini, secara tidak langsung Anda menanamkan, tujuan bertanding semata untuk meraih kemenangan. Padahal, yang intinya ditanamkan adalah menikmati pertandingan. Jadi, hindari pertanyaan itu dan ganti dengan, “Bagaimana pertandingan tadi? Seru atau tidak?”
Tentu saja anak memerlukan jiwa kompetitif untuk memacu kemampuannya. Eileen Kennedy-Moore, Ph.D., psikolog klinis sekaligus penulis artikel “Learning to Be a Good Sport, Helping Children Cope with Winning and Losing” di situs web Psychology Today menyarankan agar orang tua mendorong anak “bertanding” dengan diri sendiri dahulu. Maksudnya, dorong anak untuk memecahkan rekor sendiri. Jika anak mampu mencetak 10 angka di sebuah pertandingan, siapa tahu di pertandingan selanjutnya ia berhasil mencetak 12 angka. Kalaupun tidak, selalu ada kesempatan lain untuk melakukannya.
“Kadang anak memecahkan rekor, kadang tidak, namun dia bisa terus berusaha. Berkompetisi dengan diri sendiri adalah cara mudah untuk belajar bertoleransi terhadap kemenangan dan kekalahan,” kata Kennedy-Moore.
Artikel lain: Nutrisi Pengaruhi Kemampuan Bersosialisasi pada Anak