TEMPO.CO, Jakarta - Selain kualitas, label produk halal juga menjadi kunci penting dalam memilih produk kosmetik, khususnya umat muslim. Label halal ini sendiri diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia. Namun, sebelum itu harus dilakukan sertififikasi dan pengujian terlebih dahulu di Lembaga Pengujian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) MUI.
Wakil Direktur LPPOM MUI Muti Arintawati mengatakan pengujian untuk sertifikasi halal ini adalah sesuatu hal yang rumit, terutama dalam menentukan titik kritis kehalalan sebuah produk harus membutuhkan ketelitian. Salah satunya dalam menentukan sumber bahan pembuatan produk kosmetik tersebut. Selain menentukan sumber yang halal, masalah toyib juga penting untuk menentukan halal atau tidaknya produk itu.
Artikel lainnya:
LPPOM Sebut Kesadaran Produsen Soal Kosmetik Halal Terlambat
Awalnya Penasaran, Kini Melanie Putria Peduli Kosmetik Halal
“Misalnya seperti bahan bewarna atau bahan dari merkuri. Kan kalau dari sisi sumber sebenarnya kan nggak tetapi kalau dari segi Toyib berarti otomatis tidak halal juga,” ujar Muti kepada Tempo di Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Selanjutnya, adalah proses pembuatan produk. Dalam proses ini juga bisa menjadi titik kritis, meskipun bahan dasar pembuatannya adalah bahan yang halal. Salah satunya bahan yang berasal dari nabati seperti asam lemak yang umumnya digunakan di produk kosmetik.
“Bentuknya bisa macam-macam. Kalau kita berbicara dari sisi kimia, namanya bisa macam-macam intinya dia itu adalah turunan dari lemak. Kemudian dari sisi proses, misalnya melibatkan ada bahan tambahan,” kata Muti.
Untuk lemak ini bisa berasal dari tumbuhan atau bisa berasal dari hewan kalau berasal dari hewan. Namun, jika sumbernya berasal dari Hewan, yang harus diperiksa adalah apakah hewan tersebut termaksuk hewan halal atau tidak. Jika hewan itu dikategorikan halal, langkah selanjutnya ialah memastikan bagaimana proses penyembelihan hewan tersebut.
Baca juga: Saat Kosmetik Halal Berubah Menjadi Haram
“Nah itu kalau misalkan dari babi kan udah jelas tidak boleh karena itu kan najis, haram. Nah, kalau dari sapi, sapinya sembelihnya seperti apa. Karena sapi kalau tidak di sembelih masuknya bangkai, nah bangkai itu najis,” jelas Muti.
Selain itu, yang menjadi titik krisis kehalalalan adalah tidak boleh memanfaatkan sumber yang berasal dari manusia. Sebabm tubuh manusia mempunyai peluang untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan produk kosmetik. Salah satu contohnya disebutkan Muti ialah Placenta, Asam Amino, hingga Keratin. “Jadi, meskipun penggunaannya hanya di luar, tidak dikonsumsi, menurut Fatwa MUI memanfaatkan tubuh manusia itu tidak dibolehkan,” ujar Muti.